Mentari, begitulah nama panggilannya. Ia adalah salah satu murid saya yang duduk di bangku kelas 8 SMP. Seunik namanya Mentari, saya juga memiliki pengalaman unik dengannya. Pagi itu saya mengadakan ulangan IPA di kelas 8A. Sembari siswa–siswi mengerjakan soal–soal ulangan, saya menilai buku catatan mereka selama belajar IPA. Ketika saya memasukkan nilai buku catatan IPA siswa ke dalam buku penilaian, terdapat satu siswa yang belum mengumpulkan, dialah Mentari. Setelah waktu mengerjakan soal ulangan berakhir, saya baru menagih buku catatan IPA kepada Mentari. Sayangnya ia tidak membawa buku catatannya, akhirnya saya meminta Mentari untuk membawa buku catatan IPA esok hari agar ia juga mendapatkan nilai seperti teman–temannya yang lain.
Keesokan harinya, seusai jam pelajaran IPA, saya baru teringat bahwa Mentari belum mengumpulkan buku catatannya. Sambil duduk di kursi guru bagian depan kelas dan berbenah untuk meninggalkan kelas karena waktu istirahat telah tiba, saya memanggil Mentari untuk mengumpulkan buku catatannya agar saya dapat segera menilainya. Mentari akhirnya teringat dan memberikan buku catatan IPA miliknya kepada saya. Namun sayang, Mentari tidak menghampiri saya untuk mengumpulkan buku catatannya, melainkan melemparkan bukunya ke arah meja guru namun meleset hingga jatuh ke lantai.
Sesaat saya begitu marah, namun saya coba untuk menahannya. Saya panggil namanya, dengan muka yang begitu polos, Mentari balik bertanya “Apa Bu?” Kemudian saya hanya terdiam dan memandangi wajahnya yang sedikitpun tidak memancarkan rasa bersalah. Teman–temannyalah yang mengingatkan Mentari, “Mentari, itu buku kamu” . Saya pikir setelah Mentari diingatkan oleh teman-temannya, ia akan menyadari kesalahannya. Namun sayang, mentari hanya mengatakan “Oh” dan menghampiri saya untuk mengambil buku dari lantai yang dilemparkannya ke atas meja kemudian pergi untuk beristirahat.
Waktu itu hati saya begitu pilu melihat seorang siswa memperlakukan gurunya seperti itu. Antara marah, kecewa, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Pikir saya, apakah saya telah gagal dalam mendidik siswa saya di sekolah, ataukah memang Mentari yang tidak mengerti nilai-nilai bagaimana caranya menghargai yang lebih tua dari usianya? Sejenak saya tertegun, kemudian saya langsung menyusul Mentari dan menghampirinya. “Mentari, siapakah orang tuamu? Apa pekerjaan orang tuamu? Rumah kamu di mana?” itulah pertanyaan yang saya ucapkan pada Mentari, namun justru Mentari begitu tidak nyaman dengan pertanyaan saya. “Apa sih Bu?” jawab Mentari sambil menghindar dengan wajah yang mulai terlihat merasa bersalah. Meski tak satupun jawaban yang diucapkan Mentari, namun teman-temannya yang menjawabnya, bahwa mentari adalah seorang anak yang hanya tinggal bersama nenek dan ayahnya. Ibu dari Mentari sendiri bekerja ke luar negeri menjadi TKW, sedangkan ayahnya jarang ada di rumah karena bekerja sebagai kuli bangunan yang gemar berkeliling daerah pula untuk mencari batu akik.
Kehidupan yang dijalani Mentari ternyata begitu pelik, entah perasaan apa yang saya rasakan pada waktu itu, marah, kecewa, sedih, kasihan, semuanya benar-benar menjadi satu. Ingin sekali rasanya saya menolong Mentari, namun apalah yang dapat saya lakukan, saya begitu bingung menghadapi situasi ini. Saya terus saja duduk termenung di kursi kantor memikirkan Mentari. Ternyata mentari tidak dapat bersikap untuk lebih menghargai kepada yang lebih tua, karena ia memang tidak mengerti bagaimana caranya. Ia sosok yang begitu merindukan ibunya, ibarat sekolah pertamanya, ibulah yang pertama kalinya memberikan pendidikan nilai-nilai saling menghormati dan menghargai kepada sesama, sedangkan Mentari tidak mendapatkan pendidikan tersebut karena keterbatasan ekonomi yang mengharuskan ibunya pergi ke luar negeri menjadi TKW.
Saya seorang guru, maka harus ada yang bisa saya perbuat untuk Mentari, tentunya sebagai gurunya. Guru bukan hanya pengajar, namun lebih dari itu, guru juga sebagai pendidik siswa. Mengajar siswa sangat mudah, begitu selesai menyampaikan materi, selesai pula tugas guru. Namun menjadi guru yang mendidik memang benar-benar berat, setidaknya ada perubahan sikap yang dilakukan siswa setelah mendapatkan pengajaran pelajaran dari guru. Mendidik memang berat, namun setidaknya tak mengapa untuk dicoba terlebih dahulu untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik, karena saya yakin bahwa tiadalah usaha yang sia-sia.
Akhirnya, saya memutuskan untuk merangkai kata-demi kata pada buku catatan Mentari setelah menilai bukunya. Selama belajar IPA dengan saya, ternyata Mentari jarang menulis. Bukan berarti metode saya yang begitu kuno, namun saya tergolong sebagai salah satu orang yang berpendapat bahwa ilmu yang didapat haruslah diikat melalui tulisan. Meski catatan Mentari begitu sedikit, saya tetap memberikan nilai diatas rata-rata standar dengan tujuan untuk memotivasinya dalam belajar. “Mentari, apabila berhadapan dengan yang lebih tua, bersikaplah lebih sopan lagi ya nak. Ibu tahu kamu memiliki cita-cita, maka belajarlah yang rajin agar cita-citamu dapat tercapai dan orang tuamu pasti akan bangga padamu. Kejarlah terus impianmu nak, Tuhan pasti mengabulkan, karena Tuhan mengetahui seberapa keras usaha yang kamu lakukan untuk belajar dengan giat. Semangat belajar.” Begitulah kalimat yang saya tuliskan pada buku catatan Mentari.
Sehari berlalu, memang belumlah ada perubahan yang berarti pada sikap Mentari. Namun bukan berarti ia tak memiliki hati, saya yakin bahwa lambat-laun ia akan luluh. Ia hanya belum mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. Ia juga belum memahami tentang bagaimana seharusnya bersikap kepada yang lebih tua. Ia tidak butuh dimarahi ataupun dibentak, ia hanya membutuhkan perhatian pengajaran nilai-nilai sikap yang seharusnya selama ini ia pelajari pada ibunya. Ibarat seseorang yang sedang tersesat dan tak tahu jalan mana yang benar untuk pulang ke rumah, ia hanya butuh penuntun jalan yang benar menuju tujuannya dan semuanya butuh proses untuk memahami petunjuk arah yang ditunjukkan.
Beberapa hari berlalu, kini sudah terhitung minggu kedua sejak kejadian buku yang dilempar itu, sikap Mentari perlahan mulai menjadi lebih baik. Biasanya ketika saya memintanya untuk tenang di dalam kelas dan tidak dihiraukanya, kini ia mulai mengikuti instruksi yang saya berikan. Mentari merupakan salah satu murid yang sangat aktif dan kreatif. Karena begitu aktifnya, ia suka berlari-lari di dalam kelas mengejar temannya sehingga membuat kelas menjadi gaduh. Mentari juga begitu kreatif, apa saja yang ia lihat, ia ambil dan dijadikannya mainan. Seperti ketika ia melihat kardus, kardus itu dimainkan dilempar-lemparkan kepada temannya sehingga temannya merasa terganggu ketika belajar. Semula kehadiran saya tidak dihiraukannya dan ia terus saja membuat gaduh, namun kini ketika saya mengingatkannya untuk memperhatikan penjelasan materi dari saya dan menuliskannya pada buku, ia mengikuti instruksi dari saya. Maka benarlah bahwa tiada usaha yang sia-sia, meski Mentari belum sepenuhnya berubah, namun setidaknya terlihat perubahan sikap yang lebih baik pada dirinya. Mentari yang baik, teruslah semangat belajar agar masa depanmu kelak seperti namamu, secerah mentari.
*****
Writing Competition BTPN-Femina
Komentar: Dengan kesabaran, benih kebaikan akan tumbuh perlahan dan menular ke orang lain.