
Foto: Fotosearch
Perjalanan bisnis telah mempertemukan Mona dengan sosok pria berkewarganegaraan Singapura. Komunikasi yang intens membuat hubungan keduanya terus berlanjut hingga ke pelaminan. Cinta memang tidak bisa memilih kepada siapa kita melabuhkan hati, termasuk memilih status kewarganegaraan pasangan. Setelah menikah dengan seorang warga negara asing (WNA) barulah Mona yang berstatus WNI merasakan kerikil-kerikil kehidupan. Salah satunya, Mona merasa dipersulit ketika memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya.
Apa yang terjadi pada Mona, hanya segelintir problem yang dialami oleh pelaku kawin campur. Karena nyatanya, status pernikahan campuran justru membuat hak mereka sebagai warga negara jadi berkurang. Perlindungan hukum perkawinan campuran yang belum terakomodasi dengan baik serta aturan-aturan yang saling bertabrakan membuat mereka yang menjalani kawin campur harus menggantungkan nasib mereka pada ketidakpastian.
Selama ini memang tak ada angka pasti berapa jumlah pelaku perkawinan campuran di Indonesia yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, dari Perhimpunan Perkawinan Campuran Indonesia (Perca), tercatat hampir 1.000 orang yang menjadi anggotanya. Bukan angka yang sedikit. Apalagi kini lingkungan yang kian modern, pertukaran budaya yang terjalin secara masif, serta pergaulan global yang kian terbuka, diyakini mendorong makin banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan WNA.
Citra Kurniawan, seorang jurnalis, dalam pergaulannya memiliki banyak teman WNA. Dari merekalah ia akhirnya berkenalan dengan seorang surfer asal Australia. Tubuh yang jangkung, kulit putih, dan wajah tampan menjadi salah satu alasan Citra jatuh hati pada sang surfer.
“Terlebih lagi, karakter dia yang humble dan cara berpikir yang modern sangat cocok dengan saya yang cenderung menyukai kebebasan. Apalagi saat itu rasanya ada kebanggaan tersendiri ketika punya pasangan orang asing,” ungkap Citra, tersenyum. Setelah menjalin hubungan percintaan jarak jauh dalam waktu yang terbilang lama, Citra dan pasangan akhirnya memutuskan menikah, 10 tahun lalu.
Beda halnya dengan Siti, yang dulu sempat bekerja sebagai private accountant di sebuah bank asing. Kerap mengurusi klien ekspatriat, ia akhirnya bertemu dengan pria warga negara Amerika Serikat, yang menjadi suaminya kini. “Ia orangnya hangat dan mengenal budaya Indonesia dengan sangat baik karena sudah tinggal lama di sini. Ia sosok yang sabar menghadapi saya. Karena merasa cocok, rasanya tak butuh alasan lain untuk tidak menikahinya,” tutur Siti, yang akhirnya menikah pada tahun 2013.
Namun, di balik kehidupan pernikahan yang penuh cinta, bagi para pelaku perkawinan campuran, status pernikahan mereka justru mendatangkan persoalan baru, terutama yang menyangkut hak mereka sebagai warga negara. Setelah resmi mendapat status bersuami/beristri WNA, saat itu pula beberapa haknya sebagai warga negara mengalami penyesuaian. Meski berstatus WNI, setelah menikah aspek kehidupan mereka pun dilihat dari perspektif asingnya saja.
Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Citra ketika mengajukan pinjaman uang ke bank. “Pihak bank tidak melihat status kewarganegaraan saya sebagai WNI, yang mereka pedulikan adalah dengan siapa saya menikah. Mungkin mereka takut saya akan kabur ke luar negeri dan tidak membayar pinjaman tersebut karena suami saya orang asing,” keluhnya. Padahal, ia akan menjaminkan rumahnya.
Di sisi lain, Siti justru merasakan tekanan dari lingkungan di sekitarnya. Ia sering dianggap menikahi suaminya yang WNA karena alasan kekayaan semata. “Padahal tidak demikian. Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta, ‘kan?” cerita Siti, yang mengaku cibiran itu justru datang dari teman-temannya sendiri.
Belum lagi stereotip ‘bule kaya’ yang kerap menyudutkan mereka pada birokrasi yang rumit dan pungutan liar yang besar. “Kalau orang lihat ada ‘bule’, harga-harga langsung mahal beberapa kali lipat dan pungutan liar sering kali terjadi. Padahal, suami saya seorang guru bahasa Inggris biasa, yang gajinya sama dengan guru-guru lainnya,” cerita Citra lagi.
Rulita Anggraini, Dewan Pengawas Perkawinan Campuran Indonesia (PERCA), melihat, aturan yang melindungi perkawinan campuran di dalam negeri masih tumpang tindih. Akibatnya, tidak sedikit pula aturan yang, istilahnya, masih mendiskreditkan WNI yang menikah dengan WNA. Misalnya, WNI kawin campur yang tidak memiliki perjanjian pranikah (prenuptial agreement) pisah harta harus rela tidak bisa mendapatkan hak milik atau hak guna bangun atas properti di Indonesia.
“Orang selalu mengira bahwa kita membeli properti untuk kepentingan pasangan yang seorang WNA, padahal sebenarnya tidak. Properti tersebut untuk kita sendiri,” cerita Rulita, yang menikah dengan WNA asal Amerika Serikat.
Menurut Juliani Luthan, Ketua Umum Perca, beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan baru terkait perkawinan campuran. Salah satunya, UU Kewarganegaraan baru tentang anak hasil perkawinan campuran yang berhak memiliki dua kewarganegaraan hingga berusia 18 tahun, kemudian ada waktu toleransi selama 3 tahun untuk memutuskan warga negara mana yang akan ia pilih. “Ini adalah contoh terobosan baru yang sangat kami apresiasi yang dapat mengatasi persoalan kelahiran dari perkawinan campuran,” kata Juliani.
Toh, yang terjadi di lapangan tak semulus kelihatannya. Ike Farida (40), yang menikah dengan orang Jepang, misalnya, mengaku dipersulit saat mengurus pendaftaran anaknya sebagai warga negara Indonesia. “Padahal, saya ini ibunya dan WNI, tapi begitu sulit mengurus perubahan kewarganegaraan anak saya menjadi WNI,” ujarnya.
Diakui oleh Juliani, masih banyak aturan lainnya yang pada akhirnya terkesan ‘menggugurkan’ hak kewarganegaraan para pelaku perkawinan campuran. Misalnya aturan izin tinggal dan izin kerja, affidavit (dwi kewarganegaraan), hingga izin untuk membuka bisnis bersama bagi pasangan perkawinan campuran. Biaya-biaya pengurusan dokumen apapun juga dipatok berkali-kali lipat.
Juliani juga menyayangkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah menyangkut aturan-aturan baru yang berhubungan dengan perkawinan campuran. Akibatnya, terkesan aturan tersebut hanya berlaku di kota besar. Hal tersebut berdasarkan keluhan yang diterima Perca dari pelaku perkawinan campuran di beberapa daerah yang merasa kebijakan baru yang terkait perkawinan campuran tak serta-merta langsung berlaku karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah pusat.
“Pelaku kawin campur di kota-kota kecil menghadapi problematika yang lebih kompleks, karena terkadang peraturannya sudah berubah, tapi di kota tempat mereka belum diaplikasikan. Banyak dari mereka dirugikan dengan ketidaktahuan atau pengaplikasian kebijakan yang tidak merata,” jelasnya.
Kendati diskriminasi akrab ditemui oleh para WNI pelaku perkawinan campuran, toh, mereka tetap mempertahankan status WNI-nya. Walaupun sebenarnya, tawaran melepas kewarganegaraan datang dengan mudahnya, diikuti dengan fasilitas memadai, sekolah anak yang gratis, pekerjaan yang menggiurkan, dan kemudahan-kemudahan yang didapatkan di negara asal pasangan.
Bagi Rulita, yang akrab disapa Ruli, belasan tahun menikah, ia tak pernah ingin melepaskan kewarganegaraannya. “WNI adalah identitas diri saya. Tapi, kenapa ketika saya loyal pada negara dan melakukan kewajiban seperti masyarakat Indonesia yang lain, hak saya sebagai WNI justru berkurang?” keluhnya. (f)