Trending Topic
Pro dan Kontra Hukuman Kebiri untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak

26 May 2016



Foto: Fotosearch

“Aduh, akhirnya, pemerintah bergerak juga! Setidaknya saya bisa sedikit lega mendengar ada putusan hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual anak. Mengerikan sekali mendengar berita-berita yang beredar di media, soal kasus-kasus kekerasan seksual pada anak belakangan ini. Saya ingin pelakunya dihukum seberat-beratnya,” ujar Shinta (34), dengan nada prihatin.
 
Itulah salah satu respons masyarakat terhadap kabar Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 
Perppu ini menambah sanksi bagi pelaku kekerasan seksual anak, yaitu tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip sebagai alat deteksi elektronik. Tindakan tersebut akan dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Hukuman tindakan dan pidana tambahan ini dikecualikan untuk pelaku anak.
 
Kekhawatiran lain muncul dari Andina Septia (32), ibu dari seorang anak perempuan. Ia berharap, bentuk hukuman yang diberikan seharusnya bisa memberi dampak psikologis dan pelaku bisa menyadari kesalahannya. “Selain biayanya mahal, hukuman kebiri kimia tidak serta merta menghentikan risiko pelakunya akan berbuat jahat pada korban atau korban lain. Jangan-jangan dia malah sakit hati dan muncul rasa ingin balas dendam kepada korban,” tegas Andina.
 
Langkah pemerintah itu memang menuai berbagai respons. Dari poling yang dilakukan femina lewat Twitter @feminamagazine pada 46 responden, sebanyak 80% memilih setuju agar pelaku pemerkosaan dihukum kebiri. Sisanya, 11% tidak setuju, dan 9% mengaku tidak paham soal hukuman kebiri ini.

Psikolog dan Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Elizabeth Santosa sangat mendukung langkah pemerintah ini. “Mari kita percayakan implementasi kebijakan ini pada pemerintah. Setelah berjalan satu hingga dua tahun, bisa kita evaluasi bersama, apakah peraturan itu efektif dan bisa mengerem terjadinya kejahatan kekerasan seksual.”
 
Ia mengibaratkan keluarnya Perppu itu sebagai garis final sebuah maraton dari sebuah proses panjang kebijakan. Maraknya pemberitaan media terhadap kasus-kasus telah mendorong pemerintah merespons situasi darurat kekerasan seksual ini lebih cepat.
 
Meski demikian, Ketua SubKomisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mariana Amiruddin punya pandangan lain. Ia berpendapat Perppu ini belum menyelesaikan persoalan kekerasan seksual. Hukuman suntik kebiri sebetulnya adalah terapi yang jadi bentuk rehabilitasi, bukan memberikan efek jera. Hukuman untuk pelaku kekerasan seksual seharusnya setara dengan hukuman pidana untuk penjahat kemanusiaan, misalnya hukuman seumur hidup. “Pelaku pemerkosaan harus mendapat rehabilitasi mental, bukan hanya membatasi libidonya. Seseorang memerkosa karena ingin menguasai korbannya. Bahkan, banyak pelaku perkosaan anak yang bukan paedofilia.”
 
Menurut Mariana, Perrpu itu juga menunjukkan bahwa ada persepsi atas kejahatan kemanusiaan itu hanya berlaku untuk anak-anak. Padahal, kekerasan seksual rentan terjadi pada anak perempuan dan wanita dewasa.
 
Komnas Perempuan menyayangkan hukuman kebiri dan hukuman mati tetap masuk sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama di saat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998 yang melarang segala bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan. Hukuman mati dan hukuman kebiri termasuk dalam bentuk hukuman ini.

Pemberatan hukuman dalam bentuk kebiri juga memiliki tantangan dalam pelaksanaannya, karena sesuai ketentuan Perppu bahwa pemberatan hukuman dilakukan setelah menjalani hukuman pokok. Komnas Perempuan mengkhawatirkan bahwa pemberlakuan Perppu yang berisi pemberatan hukuman ini hanya semata-mata untuk merespons desakan emosional publik, tanpa mempertimbangkan keroposnya penegakan hukum yang ada di Indonesia. “Masih ada ratusan kasus pemerkosaan belum terselesaikan, bahkan belum sampai ke proses peradilan,” ujar Mariana.

Meyikapi hal itu, Komnas Perempuan berniat meminta Perrpu tersebut ditinjau ulang oleh DPR. Jika akhirnya disetujui DPR, Perppu tersebut harus diubah dengan mengadopsi peraturan yang tercantum dalam draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini posisinya masih dalam daftar Prolegnas tambahan 2016.

Terlepas dari pro dan kontra yang beredar di masyarakat, Elizabeth mengajak masyarakat untuk bersama-sama mempelajari isinya. “Jangan hanya fokus pada pengesahan kebijakannya. Mari bersama-sama meneliti setiap poinnya.”  
 
Bagaimana pendapat Anda? (f)
 
Klik ini untuk membaca isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Topic

#KekerasanSeksual

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda? 

https://www.helpforassessment.com/blog/style/ https://www.baconcollision.com/css/ https://seomush.com/ https://radglbl.com/ https://stmatthewscommunityhall.co.uk/vendor/ https://www.bgquiklube.com/style/ https://proton.co.ke/css/ https://www.888removalist.com.au/vendor/ https://quill.co.id/js/ https://aniworld.com.de/css/ https://gmitklasiskupangbarat.or.id/js/ slot gacor สล็อตออนไลน์" เว็บตรงสล็อต MAX33 คาสิโนออนไลน์ MAX33 สล็อตเว็บตรง