
Foto: 123RF
Farhana menulis, “Kaum mayoritas sering kali beranggapan bahwa suatu atribut darinya adalah sesuatu yang umum, lalu ‘yang minoritas bisa menyesuaikan’. Mungkin Anda belum pernah merasakan jika situasinya dibalik, mungkin juga Anda tidak peduli.”
Pengalaman menjadi minoritas juga pernah dirasakan Dwi Setyowati (35) ketika ia mengambil gelar master Hubungan Internasional, di Prancis pada tahun 2006- 2011. Wanita yang sehari-hari bekerja sebagai Wakil Kepala Komunikasi – Atase Pers Institut Francais d’Indonesie di Jakarta ini, bercerita bahwa saat itu di dalam kelas, ia menjadi satu-satunya orang Asia, muslim dan mengenakan hijab.
“Awalnya saya sempat takut terjadi diskriminasi dan stigmatisasi,” katanya. Tapi ternyata, ketakutan-ketakutan tersebut tidak pernah terjadi.
“Hampir semua orang yang saya temui, dosen hingga teman-teman, sudah berpikiran terbuka dan tidak ada kebencian. Kalaupun ada yang ‘penasaran’ tentang hijab yang saya pakai, maka yang terjadi adalah komunikasi untuk saling mengenal dan memahami,” tambahnya.
Di saat yang bersamaan, Dwi mengaku kecurigaannya bahwa orang Prancis adalah rasis, perlahan memudar. Namun memang, tidak dipungkiri, tidak seperti di lingkungan kampusnya yang cenderung memiliki pemikiran terbuka, di tempat umum Dwi kerap mendapatkan sikap yang kurang menyenangkan.
Misalnya, ketika ia bertemu dengan seorang kasir yang menolak melayani dirinya ketika berbelanja di supermarket. Atau ada juga orang yang menolak menjawab dan justru memalingkan wajah ketika Dwi bertanya arah jalan.
“Terlebih, saat itu Islamophobia sedang meningkat seiring dengan aksi bom dan kerusuhan yang terjadi di Eropa,” katanya.
Walaupun ada banyak imigran muslim di kota-kota di Prancis, namun banyak masyarakat Prancis yang awam tentang Islam dan memiliki prasangka termasuk jilbab. Apalagi, umumnya muslim tinggal di pinggiran kota atau daerah kumuh yang rawan kekerasan dan gampang muncul konflik.
“Secara politis orang Prancis tidak nyaman dengan simbol agama. Makanya ada Undang-Undang yang melarang semua atribut keagamaan di ruang publik. Tidak hanya jilbab, tapi juga kippa Yahudi, kalung salib, dan lainnya,” ungkap Dwi
Sulitnya menjadi minoritas juga dirasakan Dwi ketika ia ingin menjalankan ibadah. Dwi merasakan kesulitan ketika mencari tempat salat di kampus. Bahkan beberapa kali, ia harus naik subway terlebih dahulu untuk bisa salat di masjid yang letaknya sangat jauh.
“Di sana saya belajar bahwa agama bukanlah identitas tunggal. Beda asal negara, beda cara shalat, beda cara berpakaian, beda cara berdoa,” katanya, kagum.
Lain lagi cerita Dedek Prayudi (33), yang mengenyam pendidikan S1 di Auckland, Selandia Baru, dan S-2 di Stockholm, Swedia. Selama sepuluh tahun tinggal di negara orang, Dedek mengaku banyak belajar menjadi minoritas dengan segala suka dukanya.
“Sebenarnya, kebanyakan dari mereka menghormati dan menganggap hak saya setara dengan mereka yang mayoritas. Saya tidak merasa dibedakan sebagai seorang muslim maupun orang Indonesia. Namun, perlakuan tidak menyenangkan tetap pernah saya rasakan,” kata Dedek.
Singkat cerita, ketika sedang mengantre untuk masuk ke sebuah klub di Selandia Baru, seorang wanita menghampiri Dedek dan berkata, “Ngapain kamu ‘orang hitam’ datang ke sini?”.
Saat itu, Dedek masih berusia 19 tahun. Ia pun mengaku merasa sangat emosional dan kecewa dengan pernyataan kasar dari wanita tersebut.
Seiring waktu dengan bertambah usia, kematangan cara berpikir, dan mengalami sendiri perlakuan yang baik dari masyarakat setempat terhadap minoritas, menyadarkan dirinya bahwa tidak semua orang jahat dan senang mem-bully minoritas.
“Justru dari pengalaman tersebut saya belajar bagaimana kita perlu menjadi seorang mayoritas yang terhormat, yaitu yang bisa membuat minoritas merasakan bahwa hak mereka itu setara. Karena ketika saya berada di posisi itu, saya merasa sangat menghormati mereka,” kata pria yang bekerja sebagai Policy Research Associate di United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) di Jakarta.
Hampir satu dekade berada di luar negeri, berpindah dari satu negara ke negara lain, membuka pandangan Dedek. Apalagi ketika suatu ketika ia dihampiri oleh salah satu mahasiswa beasiswa dari Tiongkok yang mengajukan pertanyaan tentang kasus kerusuhan 1998.
Pertanyaan: “Mengapa orang Indonesia benci sekali dengan orang Tionghoa?” membuat Dedek kaget dan terdiam. Pertanyaan tersebut seakan mengingatkan dirinya sendiri bagaimana minoritas di negaranya tidak diperlakukan adil.
Kembali ke Indonesia, Dedek terinspirasi untuk membuat gerakan Cinta Toleransi. “Jujur saja, sebelum sekolah ke luar negeri, saya pernah punya stigma yang buruk terhadap etnis tertentu.
Namun, stigma tersebut pudar setelah saya merasakan pengalaman menjadi minoritas dan pernah menghadapi ketidakadilan. Saat itu saya bertanya, ‘Mengapa menjadi minoritas di Indonesia tidak bisa hidup seenak minoritas di negara lain?’” katanya.
Pada tahun 2012, bersama beberapa temannya, Dedek membentuk socialpreneurship yang diberi nama 420 Society. Dengan slogan Respect Differences, Enjoy Tolerance, 420 Society menjadi wadah bagi generasi muda dengan latar belakang agama, ras, dan suku yang beragam, untuk menyebarkan pesan-pesan cinta damai dan toleransi. Komunitas yang kini sudah memiliki seribuan anggota ini tersebar di sepuluh kota seperti Makassar, Yogyakarta, Garut, Bogor, hingga Bandung.
Kesenjangan antara mayoritas dan minoritas dalam tataran hidup di masyarakat memang selalu menjadi topik hangat. Munculnya gerakan Cinta Toleransi, seperti yang digerakkan oleh Dedek dan kawan-kawan, karena adanya kenyataan mudahnya terjadi gesekan antara minoritas dan mayoritas di masyarakat.
Apalagi belakangan ini, ketika hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia sedang diuji. (f)
Baca juga:
3 Inisiatif Menyebarkan Nilai Toleransi dalam Masyarakat
Menakar Tingkat Toleransi di Indonesia
Mengajarkan Toleransi pada Anak
Kelas Menengah Tidak Toleran?
Faunda Liswijayanti
Topic
#Toleransi, #Intoleransi