
Farhah Faridah
Unggulan Sayembara Cerpen Femina 2016
Saat ini bapak sedang berkunjung ke rumahku tanpa Emak. Bapak menumpang mobil tetangga di desa yang anaknya baru saja diterima di perguruan tinggi di Bandung. Bapak ikut ke Bandung tanpa bilang-bilang Emak dan spontan ikut saat tetangga menemui bapak pagi hari untuk menanyakan alamatku. Bapak tidak pamit pada Emak yang sedang di sawah dan tidak membawa pakaian dan perlengkapan mandi. Bapak merasa tidak bersalah dan acuh tak acuh saat kutanyakan tentang Emak.
“Emak itu sibuk di sawah, sibuk ngurusi kambing-kambingnya, ayam dan bebeknya,” jawab bapak saat kutanya kenapa Emak tidak ikut.
Pak Endun, istri dan anak Pak Endun menatap kami. Mereka sepertinya maklum tentang hubungan Emak dan Bapak yang kurang harmonis.
“Bapak pengin ikut waktu pagi tadi sebelum berangkat kami mampir ke rumah bapak. Katanya Bapak lupa alamat Mas Ono dan mau ikut saja untuk nunjukin jalan,” kata Pak Endun. “Maaf, merepotkan. Ini saya, istri dan anak mau numpang mandi di sini. Habis itu mau survei ke kampus dan cari penginapan dekat kampus supaya besok pagi gampang daftar ulang.”
“Oh, silakan, Pak. Ini kamar mandinya. Kalau mau salat di kamar ini.” Istriku mengajak dan menunjukkan kamar mandi dan kamar depan ke keluarga Pak Endun.
Keluarga Pak Endun bergantian mandi dan merapikan diri di kamar depan sementara istriku menyiapkan makan ala kadarnya. Bapak bersamaku di ruang tamu dan kami berdiam diri. Bapak ini semakin tua semakin menjadi. Umur Bapak sekitar tujuh puluh tahun. Sementara Emak di sawah dan membantu pekerjaan petani, Bapak sudah pergi dengan motor bebek keliling desa ngobrol ke sana kemari. Bapak jarang di rumah menemani Emak. Mungkin Emak juga jengkel dan cemburu melihat keramahan bapak kepada wanita-wanita desa yang masih muda dan segar.
Kata Emak, bapak juga suka pamer dan senang bercerita tentang aku ke semua orang. Bagi bapak dan tetangga kami di desa, aku adalah orang desa pertama yang dianggap sukses. Entah apa definisi sukses buat mereka. Bagiku sukses adalah setiap proses yang berhasil dilalui. Sukses bisa terjadi setiap waktu. Itu yang aku ajarkan pada anak-anakku.
“Bapak mah enggak usah mandi. Tadi buru-buru dan tidak sempat menyiapkan baju.” Bapak membuyarkan lamunanku.
“Enggak mandi bagaimana? Baru lusa bapak balik ke Karawang. Masa dua hari enggak mandi?” kataku kesal sama Bapak. Aku ingin segera menelepon Emak. “Nanti baju ganti, handuk dan sikat gigi disiapkan Santi.” Aku bersiap meninggalkan Bapak di ruang tamu dengan kepulan asap rokoknya ketika tiba-tiba dua anakku, Renata dan Rio ke ruang tamu.
“Kek, tolong kalau merokok di luar saja. Ini bau asap rokok sampai ke kamar, nih,” kata Renata “Lagi pula, Renata ini duta anti rokok. Rokok itu menyebabkan kanker, sakit paru-paru dan jantung.” Renata anakku yang masih sekolah dasar kelas lima menjelaskan bahaya rokok kepada Bapak.
Bapak mematikan rokok, membuka semua jendela ruang tamu dan keluar rumah. Bapak balik lagi ke ruang tamu dan bicara dengan Rio anakku yang kelas IX SMP.
“Rio, kamu nggak boleh merokok. Tuh, lihat,” Bapak berkata dan menunjuk ke arahku. “Ayahmu tidak pernah merokok. Kamu harus seperti ayah ya. Kalau kakek mah nggak bisa kalau berhenti merokok. Susah berhenti juga. Kakek mau merokok dulu di luar. Merokok itu enak, apalagi sambil duduk di pematang sawah.” Kata Bapak dan berlalu keluar rumah.
“Kakek, kok, susah sekali di kasih tahu, sih, Yah?” Renata kecewa ketika dilihatnya Bapak menyalakan kembali rokok dan mulai merokok depan pagar rumah kami.
“Jadi duta anti rokok itu harus sabar, tidak boleh marah-marah! Nanti kalau membuat laporan, tulis saja, tidak merokok dimulai dari diri sendiri, dari keluarga sendiri. Contohnya seperti Rio dan ayah.” Kata Rio menepuk dadanya dan menunjuk ke aku.
“Iya, deuh.” Renata cemberut. Aku tersenyum dan bersyukur anak-anakku tumbuh sehat dan sampai dengan saat ini bisa memilih lingkungan pergaulan dengan baik.
Keluarga Pak Endun bergabung bersama kami di ruang tamu. Mereka telah selesai merapihkan diri. Istriku mengajak kami makan siang bersama. Rio mencari Bapak dan kembali ke ruang makan tanpa Bapak.
“Lho, mana kakek?” tanya istriku
“Kakek bilang makannya nanti saja. Kakek lagi ngobrol di garasi Om Dodi sama Bi Asih dan teman-teman Bi Asih kayaknya?” Kata Rio.
Aku dan istriku berpandangan penuh arti. Bapak itu membuatku malu saja dan tidak menempatkan diri di tempat tinggalku. Entah apa yang sedang Bapak ceritakan dengan para asisten rumah tangga itu. Aku mencoba melupakan bapak dan kembali makan siang sambal ngobrol dengan Keluarga Pak Endun.
“Bapak itu setiap pagi selalu rapi dan tidak lupa pakai topi koboinya.Rokok dan ponsel tidak pernah ketinggalan di pinggangnya dan jalan dengan motor bebeknya. Dulu, kalau sudah mulai siang dan waktunya makan, Emak nyari-nyari tapi bapak jarang ditemukan. Kalau ditanya sudah makan bersama teman-temannya. Sekarang, sih, Emak sudah tidak pernah nyari bapak lagi.” Bu Endun bercerita tentang bapak. Tentang kebiasaan bapak empat tahun ini yang sudah sering Emak ceritakan kepadaku. Emak yang sudah lemah dan tua menjadi sering bertengkar dengan bapak. Kata Emak, bapak punya kebiasaan baru dan telah berubah.
Pak Endun dan keluarga pamit setelah mendapatkan alamat kampus, penginapan dan arahan menuju tempat tujuan dari kami. Tak lupa Pak Endun menitipkan anaknya padaku yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswaku. Dia memilih jurusan yang sama denganku dan bercita-cita ingin menjadi dosen sepertiku. Rupanya aku menjadi inspirasi bagi mereka. Anak Pak Endun penuh semangat ingin menyelesaikan kuliah dan melanjutkan sekolah di luar negeri dan menjadi profesor di usia muda sepertiku. Tak lupa, lusa Pak Endun akan menjemput bapak untuk pulang ke Karawang bersama.
Selanjutnya, klik laman berikutnya.
Topic
#FiksiFemina