SEPAKET UJIAN PERTAMA
Kisah ini berawal dari kelahiran bayi pertama saya yang sangat prematur, baru 6 bulan dalam kandungan. Sejak awal kehamilan memang sudah bermasalah. Berkali-kali saya mengalami vlek sehingga terpaksa harus bed rest. Puncaknya, saat memeriksakan kehamilan yang menginjak 6 bulan. Mendadak kandungan mengalami kontraksi, diikuti pembukaan, pertanda bayi akan lahir.
Mengingat usia kehamilan yang masih sangat muda dan kondisi kehamilan saya, dokter memperkirakan kemungkinan bayi saya lahir selamat hanya 30%. Sementara peluang keselamatan saya sendiri 70%. Saat itu saya tidak peduli dengan keselamatan saya sendiri. Bayi saya harus lahir dengan selamat! Rasa sakit menjelang persalinan tidak saya hiraukan, tertutup oleh kecemasan kehilangan bayi pertama yang sangat saya idamkan.
Dalam isak tangis tak henti-hentinya saya memohon kepada Yang Mahakuasa agar anak saya terlahir selamat. Segala puji bagi Allah, doa saya dikabulkan! Melalui proses persalinan normal, seorang bayi laki-laki, yang kami beri nama Andi, terlahir dari rahim saya, bulan September 2007. Bobotnya hanya 1,8 kg, sangat kecil dan lemah, sehingga harus masuk inkubator untuk mendapatkan penyinaran khusus dan suntikan penguat paru-paru. Mungkinkah ia bertahan? Puji syukur, setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif, kami bisa membawanya pulang!
Kebahagiaan sebagai ibu baru ternyata masih harus tertunda dengan kelemahan fisik yang datang tiba-tiba. Saya menderita demam yang tak kunjung reda, meskipun telah bolak-balik memeriksakan diri ke dokter. Berbagai diagnosis dikemukakan. Karena disertai batuk, ada dugaan saya menderita sakit paru-paru dan diajurkan untuk melakukan rontgen. Hasilnya negatif, paru-paru saya bersih. Anehnya, obat hanya meredakan batuk, tidak demam saya.
Kali ini dokter kembali menduga bahwa saya terjangkiti penyakit tifus, karena sel darah putih menurun drastis. Tetap saja obat-obatan yang diberikan tidak membawa kesembuhan. Demikian juga pengobatan alternatif sesuai saran orang-orang di sekitar saya, tidak ada yang berhasil menyembuhkan. Selama dua tahun demam yang saya alami tidak pernah turun! Sementara, penyakit yang saya derita pun belum ada kejelasannya.
Kondisi makin tidak nyaman karena sejak melahirkan saya tinggal bersama mertua. Perbedaan latar belakang suku bangsa, status sosial, dan ekonomi inilah barangkali yang menjadi pemicu. Mertua berasal dari Sumatra, mempunyai jabatan tinggi, dan orang kaya pula, sementara saya dari suku Sunda dan berasal dari keluarga yang biasa saja. Ayah hanya seorang pemborong bangunan dengan proyek yang tidak besar. Ibu saya hanya sesekali menjual masakan untuk pesanan.
Hidup dalam aturan yang sangat berbeda makin membuat saya merasa tertekan. Apalagi, sejak menikah --karena tidak diperbolehkan bekerja oleh suami-- saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya yang lumayan bagus di sebuah perusahaan konstruksi. Saya makin merasa seperti katak dalam tempurung. Kenyataan menjadi makin berat saat saya mengetahui bahwa suami masih melakukan kebiasaan buruknya, memakai narkoba. Memang, sebelum menikah ia pernah mengaku sebagai mantan pemakai obat-obatan terlarang. Alasannya, karena kurangnya perhatian dari orang tua, sehingga ia menghamburkan uang untuk hal-hal negatif yang bisa mendatangkan kebahagiaan sesaat.
Waktu itu saya percaya saja dengan pengakuannya, dan saya terima dia karena saya kira dia benar-benar insaf. Ternyata, setelah menikah, janjinya bohong belaka. Beberapa kali saya menemukan bungkusan mencurigakan di saku celananya, yang ternyata adalah shabu-shabu. Suami juga sering menghilang begitu saja ketika malam, untuk nyabu.
Saya makin terperanjat ketika Andi yang mulai pandai merangkak menemukan sesuatu di bawah sofa bed-nya di samping tempat tidur kami. Ya, Allah! Ternyata itu alat untuk menyabu! Ditambah lagi dengan kebiasaan buruk lainnya, menenggak minuman keras hingga mabuk. Saat marah ia sering lepas kendali, sehingga saya sering menjadi sasaran KDRT. Sejak itulah kepercayaan saya berubah 180 derajat. Berkali-kali saya mengingatkannya, tapi tidak digubris, termasuk ketika saya berkali-kali meminta cerai padanya.
MENGALAMI KOMA
“Bunda… Bunda….” Suara kecil itu lamat-lamat terdengar di telinga saya, bergantian dengan lantunan ayat suci, mengingatkan waktunya salat. Suara-suara Andi dan kedua orang tua saya ini yang menjaga keterhubungan saya dengan dunia. Sebab, selama itu saya mengalami koma, dan harus tergeletak di rumah sakit dengan suplai nutrisi dari 50 tabung infus.
Cerita ini berawal dari keengganan saya mengikuti saran Ayah dan Ibu untuk mondok di rumah sakit agar proses penyembuhan penyakit saya lebih fokus. Akhirnya saya ambruk juga! Tidak tahan dengan kondisi tubuh, saya meminta adik untuk mengantar saya ke rumah sakit. Bukannya prihatin dan segera menyusul ke rumah sakit, suami yang saat itu dihubungi oleh dokter via telepon justru marah-marah karena merasa terganggu. Gempuran penyakit dan tekanan batin membuat saya langsung colaps, tidak sadarkan diri dan koma selama 11 hari!
Pemeriksaan CT scan mengungkap ternyata saya terkena virus toksoplasma yang telah menjalar sampai ke otak. Rupanya, ini juga yang menjadi biang keladi kelahiran prematur bayi saya. Saya memang senang memelihara kucing. Saking sayangnya, saya sering memeluk kucing saat tidur. Saya tidak menyadari bahwa kucing dapat menjadi pencetus penularan virus toksoplasma.
Serangan virus ini makin parah karena sebelumnya saya sering mengonsumsi telur mentah dan telur setengah matang. Saya melakukan saran alternatif ini sebagai upaya untuk meringankan sakit, yang pada waktu itu diduga disebabkan oleh tifus. Padahal, menurut dokter, telur mentah ini justru menjadi makanan tokso sehingga membuatnya subur dan berkembang hingga ke otak.
Prediksi dokter mengatakan bahwa saya akan mengalami kelumpuhan dan cacat mental akibat keganasan tokso yang telah menggerogoti otak. Terbayang, saat semua itu terjadi, putra saya sedang sangat membutuhkan sosok ibu, dan saya tidak bisa ada untuk dirinya. Oh, Tuhan… cobaan apa lagi yang harus hamba alami….
Apa yang diprediksi oleh dokter mulai menjadi nyata ketika saya mulai tidak dapat menggerakkan kaki untuk berjalan. Batin saya berteriak, “Saya lumpuh!” Saya juga mulai mengalami amnesia. Dari semua orang terdekat, hanya kedua orang tua dan putra saya yang masih saya ingat. Mungkin karena merekalah yang selama ini setia menjaga dan menemani saya.
Suatu kali, pernah suami datang ke rumah. Ayah mencoba mengingatkan saya seraya berkata, “Anakku, ini suamimu orang yang sangat baik dan sangat mencintaimu.” Percuma saja Ayah mengingatkan saya dengan kata-kata seperti itu. Wajah suami tidak pernah terlintas sedikit pun dalam ingatan. Saya tak ingat apa-apa tentang dia, termasuk hubungannya dengan saya.
Dalam kondisi tertentu, emosi saya mulai tidak terkendali. Saya sering berteriak-teriak dan menangis layaknya anak kecil. Saya juga tidak bisa mengingat semua bacaan salat, sehingga saya menangis dan berteriak di tengah salat berjemaah di rumah. “Mama, saya lupa bacaan salatnya!” Sama seperti saat saya kecil dahulu, kedua orang tua dengan sabar membimbing saya untuk belajar bacaan salat lagi.
Pertolongan Allah dan keajaiban kasih kedua orang tua yang merawat dan bantuan dana pengobatan dari mertua sedikit demi sedikit membawa pemulihan bagi saya. Perlahan, ingatan saya mulai pulih kembali. Sebagai rasa syukur, saya makin khusyuk dalam melaksakan salat 5 waktu yang disertai dengan salat Tahajud. Dalam tiap doa, tak henti-hentinya saya memohon kesembuhan. Bahkan saya sempat bernazar, seandainya saya dapat berjalan kembali, saya akan rajin salat berjemaah dan melangkahkan kaki ini ke tempat-tempat yang bermanfaat. Tak lama setelah saya bernazar, alhamdulillah saya pun akhirnya bisa berjalan kembali!
SEPAKET UJIAN KEDUA
Ingatan saya kini telah pulih dan kaki pun dapat berjalan lagi. Tetapi, ujian hidup saya masih berlanjut. Kini, seluruh tubuh saya dipenuhi bercak-bercak merah, yang lama-kelamaan berubah menjadi kehitaman, seperti gosong. Terpaksa saya dibawa kembali berobat ke dokter. Hasil pemeriksaan mengungkap, saya terkena penyakit Stephen Johnson, sejenis penyakit yang dipicu oleh terlalu seringnya mengonsumsi obat antibiotik.
Tiap hari saya harus mengonsumsi obat yang harga sebutirnya Rp75.000, sebanyak tiga kali sehari. Sementara, untuk menghilangkan gosong-gosong di kulit, saya harus mengoleskan salep yang harganya Rp600.000, untuk beberapa mili saja. Demi memenuhi pembiayaan obat-obatan, satu per satu barang berharga orang tua saya terjual. Mobil, perhiasan Ibu, hingga kulkas!
Seiring waktu, kami hanya sanggup membeli beberapa butir obat dan satu salep saja. Selanjutnya, kami benar-benar hanya berserah kepada Tuhan melalui doa-doa. Obat hanyalah perantara, sementara kesembuhan adalah hak prerogatif Allah. Dengan izin-Nya itulah saya pun sembuh dari penyakit Stephen Johnson. Bahkan, warna kulit saya pun kembali pulih seperti sediakala.
Tidak hanya saya sembuh dari penyakit Stephen Johnson, sikap suami pun mulai berubah, dan menjadi lebih baik serta perhatian kepada saya. Terbukti, suatu kali saya mengalami kejang-kejang, dia tampak begitu cemas dan segera membawa saya ke rumah sakit. Ia juga pernah panik mengira saya telah tiada, padahal saat itu saya sedang salat sambil berbaring. Ya, pada dasarnya Abang, suami saya, adalah suami yang baik. Hanya karena kebiasaan mabuk dan nyabu itulah yang berpengaruh pada perangainya.
Sejak itu, Abang makin rajin beribadah. Mulai dari salat wajib hingga salat malam tidak pernah lagi dia tinggalkan. Saya sangat bersyukur dengan perubahan sikap suami ini. Namun, entah mengapa, ada perasaan ganjil yang menjalari saya saat ia begitu seringnya berkata, “Abang pergi dulu ya, Dek!” sambil melambaikan tangan. Itu tidak hanya dia lakukan ketika hendak pergi bekerja, tetapi juga saat dia berada di rumah. Dia juga berkali-kali meminta maaf.
Suatu ketika, Abang jatuh sakit. Menurut dokter, ia sakit tifus disertai hepatitis, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Mengingat kondisi yang belum pulih, terpaksa saya tidak bisa menungguinya. Setelah seminggu Abang dirawat, ia minta diperbolehkan pulang dulu karena merasa kangen pada saya dan anaknya. Saat kepulangan Abang itulah, saya merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Seakan-akan sekujur tubuh dan wajahnya memancarkan suatu cahaya. “Oh, pertanda apakah ini?”
Malam itu Abang menginap di rumah. Saya sendiri, karena masih lemah, segera tertidur di kamar lain, sementara suami ditunggui keponakan, di samping kamar saya. Namun, ketika Abang terbangun, ia langsung menanyakan saya. Keponakannya segera membangunkan saya. Saat duduk di sampingnya. Abang menggenggam erat-erat tangan saya seraya berkata, “Mungkin Abang akan pergi, maafkan Abang, ya, Dek….”
Berkali-kali ia memohon maaf. Padahal, tidak diminta pun saya sudah memaafkannya. Wajahnya terlihat makin pucat, dan tubuhnya melemah. Melihat kondisi Abang seperti itu, saya hanya pasrah pada Allah. Dia lebih mengetahui yang terbaik buat Abang. Jika Dia mengizinkan Abang sembuh, pasti Abang sembuh. Tetapi, jika Dia menghendaki Abang harus kembali pada-Nya, saya akan mengikhlaskannya.
Besoknya kembali Abang dibawa ke rumah sakit. Menurut ibu saya, tak biasanya kali ini Abang ingin ditunggui dan disuapi Ibu. Ah, ternyata itu merupakan keinginan terakhir Abang untuk dirawat mertua. Tak lama kemudian, Ibu menelepon dari rumah sakit, Abang telah pergi meninggalkan saya untuk selama-lamanya di usia yang sangat muda, 27 tahun. Air mata mengalir bercucuran. Semoga saja Allah menerima taubatnya, mengampuni segala dosa dan kesalahannya.
Ketika jenazah suami dibawa ke rumah, saya tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Mereka khawatir saya shock dan terjadi sesuatu yang buruk. Selama itu saya hanya berdiam diri di kamar bersama Andi yang masih berusia 2 tahun. Baru menjelang pemakaman, saya bersama anak diizinkan untuk melihat jasad Abang untuk terakhir kalinya. Saat itulah saya menangis meraung-raung layaknya anak kecil yang kehilangan mainannya. Saya tahu apa yang saya lakukan ini tidak dibenarkan dalam agama. Apalagi, sebenarnya saya telah mengikhlaskan kepergiannya. Entahlah, semua itu terjadi begitu saja, di luar kontrol saya.
Belum selesai masa duka, ujian lain kembali datang. Kali ini terkait dengan putra saya. Bayi yang dulu lahir prematur dan sangat lemah itu, telah tumbuh menjadi seorang anak yang sehat. Parasnya persis seperti paras almarhum ayahnya. Dia menjadi hiburan tersendiri buat saya, juga buat orang tua almarhum. Alasan ini pula yang melatari keinginan mertua untuk menjadikannya sebagai anak, untuk menggantikan suami yang telah tiada. Alasannya, agar semua warisan untuk ayahnya jatuh kepada anak saya.
Meski kondisi saya masih sakit-sakitan dan keadaan ekonomi juga kurang menguntungkan, keinginan mereka ini saya tolak. Ia adalah harta satu-satunya peninggalan suami. Apa pun yang terjadi, saya harus mempertahankannya! Terbayang kesempatan saya untuk mengasuhnya akan nyaris tak ada. Itu pernah tercetus dari bibir mereka, bahwa saya hanya sesekali saja boleh mengunjunginya dan itu pun atas seizin mereka. Tentu saja saya menolak mentah-mentah. Putra saya adalah harta yang tak ternilai bagi saya.
Masalah ini membuat ayah saya dan ayah mertua saling bersitegang. Kejadian tersebut cukup menguras perasaan. Syukurlah ada yang menengahi ketegangan di antara kami, sehingga segalanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Mereka mengurungkan niat untuk mengadopsi anak saya. Namun, sebagai kakek dan nenek, saya mengizinkan mereka untuk bertemu sewaktu-waktu dan mengasuh anak saya.
Selesai masalah perebutan anak, kisah sedih lain kembali menghampiri. Setahun setelah suami meninggal dunia, kini giliran ayah saya berpulang. Sosok terdekat yang senantiasa menyemangati saya untuk sembuh itu dipanggil oleh Yang Mahakuasa. Ayah meninggal tanpa sakit terlebih dahulu. Sebelum meninggal, beliau tampak sehat-sehat saja, bahkan tampak lebih ceria dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Itulah mengapa saya sangat kehilangan, bahkan jauh lebih kehilangan daripada sewaktu saya kehilangan suami.
Masih lekat dalam ingatan, perjuangan Ayah selama merawat saya. Semua rela ia korbankan demi kesembuhan putrinya. Tidak hanya harta, tenaga, waktu, bahkan juga perasaan tak segan ia pertaruhkan. Beliau tetap bersikap baik kepada suami, meski dia tahu betul bagaimana perlakuan suami terhadap putri kesayangannya. Ayah juga yang membela mati-matian ketika kasus perebutan anak saya. Meski rentetan kata-kata menyakitkan diterimanya, tak sekali pun dia membalasnya. Itulah ayah saya.
Kini saya tiada bersuami dan tiada pula berayah. Satu-satunya orang terdekat yang sekaligus menjadi penghiburan saya adalah Andi. Namun, hidup mesti berjalan terus. Saya tak bisa terus tenggelam dalam kesedihan. Putra semata wayang saya masih membutuhkan saya.
Hanya mengandalkan uang pensiun suami Rp1,1 juta per bulan memang tidak cukup. Pernah saya mencoba bekerja, tapi setelah dua bulan terpaksa berhenti karena hemoglobin saya drop. Meski saya masih ingin bekerja tetap karena ingin menerapkan ilmu yang saya dapat saat kuliah, sekarang saya baru bisa menambah rezeki dengan berjualan macam-macam, mulai dari pakaian, kue kering, atau masakan berdasarkan pesanan. Keterbatasan modal dan fisik tidak menyurutkan semangat saya. Sebab saya yakin, Allah yang akan mencukupkan rezeki kami.
Sepuluh tahun berlalu, kehidupan saya dan Andi pun membaik. Hubungan saya dengan mertua sudah jauh lebih baik. Begitu juga dengan Andi yang kini berusia 12 tahun, dekat dengan eyangnya. Selain prestasinya di sekolah lumayan bagus, Andi pun aktif di sekolah dengan berbagai kegiatan. Alhamdulillah, kini saya juga sudah menjalin hubungan serius dengan seseorang yang bekerja di luar kota. Doakan saja semoga bisa berakhir di pelaminan.
Neneng Ratnika (Kontributor – Jakarta)