Rempah sebenarnya juga sudah disebutkan di dalam kitab suci agama Kristen sebagai komoditas yang harganya melebihi emas. Bahkan, Ratu Sheba saat melamar Raja Sulaiman selain memberikan emas dan permata, sengaja menaruh rempah-rempah ini ke dalam keranjang seserahan.
Saat abad pertengahan (641 M), rempah-rempah memang menjadi barang berharga. Padahal, saat itu, bangsa Arab sedang menjajah wilayah Eropa dan banyak saudagar dari Timur Tengah membawa barang dagangan ke Eropa. Makanya, karena menjadi barang langka dan hanya bisa dibeli oleh kalangan bangsawan, atas perintah Raja Charlemagne dari Prancis, biara-biara diharuskan untuk menanam rempah-rempah ini. Tak heran jika halaman biara kemudian menjadi apotek hidup dan penuh dengan tanaman adas, rosemary, ketumbar, bawang putih, dan biji poppy.
Pada bulan Mei 1498, Vasco da Gama, seorang petualang asal Portugal, mendarat di Kalkuta, India. Dari India, ia kemudian kembali ke Portugal dengan kapal penuh membawa perhiasan dan (tentu saja) rempah-rempah. Mendaratnya Vasco da Gama di belahan dunia Timur makin membuka peluang bagi dunia Barat untuk mengenal dan membawa rempah-rempah ke Eropa. Sejak saat itu, tak terhitung lagi berapa banyak rempah-rempah dari India dan Indonesia (Maluku dan Banda) yang diekspor ke Eropa. Hal ini juga ternyata membawa pengaruh buruk, yaitu dengan dimulainya penjajahan atas negeri-negeri Timur sebagai akibat perebutan daerah penghasil rempah-rempah yang pada saat itu harganya sebanding dengan emas.
Sebenarnya, enam tahun sebelum Vasco da Gama mencapai India, Christopher Columbus sudah terlebih dahulu (1492) mencapai benua Amerika, yang saat itu dikiranya sebagai ujung dunia. Begitu kembali ke Spanyol, Columbus pulang dengan kapal yang penuh berisi oleh-oleh, seperti tembakau, ubi, kacang merah, dan cabai. Beberapa tahun kemudian, saat ia kembali untuk kedua kalinya dari Amerika, Columbus membawa pulang rempah allspice yang seketika itu populer di Eropa. (f)
Heni Pridia
Topic
#SejarahMakanan