Foto: Fotosearch
Belum lagi, mereka punya akses lebih dekat ke pihak sekolah. Mengenal semua orang di sekolah, dan tak heran mereka selalu menjadi pihak yang tahu lebih dulu soal semua informasi terbaru dari guru dan sekolah.
Di sisi lain, kekompakan dan kedekatan mereka juga patut membuat iri para mama lain. Mereka yang tak bergabung jadi sungkan untuk bergaul dengan kelompok itu, dan sebaliknya. “Terus terang, saya juga mengalaminya sendiri. Jika ada orang baru, kalau enggak pandai membawa diri, biasanya sulit masuk ke kelompok ini,” jelas psikolog Anna Surti Ariani.
Lebih lanjut, Nina menambahkan, ketika para mama bertengkar, biasanya pressure-nya menjadi besar. Masing-masing pihak saling meniupkan gosip, menjelek-jelekkan pihak lain. “Yang lebih parah, kalau saat mamanya bermasalah, eh, anaknya jadi ikutan berkonflik,” sindir Nina.
Tapi, jika ditelusuri, sebenarnya keberadaan para ‘aktivis’ sekolah itu ada banyak manfaatnya. Keberadaan mereka lebih dari sekadar ngerumpi, arisan, dan berbaju dress code tertentu. Terlebih lagi, mereka yang tergabung dalam komite. Kalau mau jujur, menjadi anggota komite adalah pekerjaan berat.
Mengenai hal ini, Managing Director Sekolah HighScope Indonesia, Antarina S.F Amir memahami, mengorganisasi orang tua di sekolah memang tidak mudah. Ada saja pihak yang menentang dan menganggap komite itu tidak perlu. “Karenanya, kami amat menghargai orang tua yang mau ikut sibuk menjadi pengurus,” ujar Antarina. (f)
Topic
#SekolahAnak