“Maaf,” bisik Ana, hampir tak terdengar.
“Jika harus ada permintaan maaf, akulah yang mesti mengucapkannya. Akulah yang gagal membuatmu merasa berada di tempat yang benar dengan orang yang benar pula.”
Heru memandang langit-langit kamar. Rasa frustrasinya jauh mengalir keluar. Yang tersisa sekarang hanyalah keletihan, atau lebih tepatnya lagi, kekosongan melelahkan. Dia menghitung detik-detik yang berlalu, sebelum memutuskan membuka mulut lagi.
“Aku pernah membaca, atau mungkin mendengar seseorang yang konyol berkata ‘tak perlu minta maaf, bila mencintai’. Kucoba memandang dari segala segi, yang paling harfiah sampai yang arif sekalipun, aku selalu gagal memahami artinya. Tapi, kali ini kurasa aku ingin mengatakan hal itu untukmu, dengan segala keterbatasan pemahamanku. Jangan minta maaf, Ana.”
Hanya tiga kata. Tiga kata yang diucapkan dengan sederhana di sebuah kamar yang sederhana pula. Tidak ada sarkasme, tanpa sinisme. Hanya ketulusan. Ana merasa hancur sepenuhnya. Dia tak mengerti kenapa bisa begitu, mengingat kehancuran demi kehancuran yang menggerogotinya akhir-akhir ini, membuatnya merasa tak bisa lebih hancur lagi.
Dia menelan isaknya, lalu berbalik. Mengintip pria di sampingnya melalui helai-helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Heru masih telentang. Ana ingin menyentuhnya, namun takut.
“Kau tak kecewa?” tanyanya, merasa polos.
“Aku munafik, kalau berkata tidak. Aku bukan hanya kecewa. Aku frustrasi, seperti yang pasti kau ketahui. Secara fisik.”
Dia juga berbalik. Berbaring miring, berhadapan. Dalam keremangan, saling memandang, masing-masing berusaha menembus keterbatasan dengan cahaya lain yang jauh lebih benderang dari sekadar lampu sekian watt. Merasakan kehadiran masing-masing sepenuhnya. Kecanggungan dan kegamangan yang sempat menyelip dan menyesatkan mereka dalam dimensi antah-berantah, perlahan terisap oleh pori-pori dinding yang tak tampak.
“Secara psikis, aku juga kecewa. Terpukul tepatnya. Sebagai pria, aku gagal membuatmu…, dalam bahasa halus sudah kukatakan, merasa di tempat yang tepat dengan orang yang tepat. Singkatnya, aku gagal membuatmu menerima diriku. Secara fisik. Ini bisa membuat pria normal merasa impoten. Kau pasti bisa memahami itu.”
Ana diam mendengarkan.
“Memang, itulah bagian yang kumaksud tadi, penuh dengan kekecewaan. Jika kita hanya membicarakan seks di sini, seks yang gagal.” Dengan hati-hati dia mengulurkan tangan, menyentuh sejumput rambut yang menutupi wajah wanita di hadapannya. Hidungnya membaui aroma sampo merek tertentu yang belakangan ini sangat intim dengan ingatannya. Disingkirkannya rambut itu perlahan, sehingga dia bisa menatap mata Ana yang masih mengaca.
“Apakah aku ke sini untuk seks? Yang kutahu, aku ke sini karena ingin bercinta denganmu. Lalu, apakah ada bedanya? Bagiku, ya. Aku tak perlu jauh-jauh ke suatu tempat di pedalaman Bantul, berjalan bertahun-tahun untuk menemukan seorang wanita, hanya demi aksi singkat sekian menit di tempat tidur, terpuaskan, lalu sudah. Bukan berarti aku tak ingin kepuasan. Namun, secara teknis, sejujurnya, kepuasan itu bisa diperoleh dari nyaris semua wanita. Tapi, masalahnya, aku ingin mencintaimu. Bercinta denganmu, mungkin hanya salah satu caranya. Barangkali, cara yang paling menyenangkan, paling indah, intim sekaligus memuaskan.
Mendapatkan seluruhnya dalam satu paket. Aku pernah mendengar, ‘cinta tanpa seks adalah kebohongan’. Atau, sesuatu seperti itu. Kolaborasi seks dan cinta mungkin hanya mitos, yang telanjur dianggap sebagai fakta. Dugaan yang begitu masuk akal, sehingga diterima sebagai kebenaran tak terbantahkan. Adakah cinta bisa berjalan tanpa seks? Bila kau orang yang sinis, kau bisa menjawab, ‘ya, bagi para pecundang’. Bila optimistis, kau akan menjawab ‘mengapa tidak?’. Yang romantis mungkin berkata ‘cinta telah cukup untuk cinta’, seperti yang diajarkan Kahlil Gibran. Lalu, sebagian lagi akan menyahut ‘itu hanya bisa terjadi dalam buku’.”
“Lalu, kau?” tanya Ana.
Heru tersenyum lemah. “Apa pun yang kau inginkan. Apa pun bisa. Aku dalam posisi sulit. Apa pun yang kukatakan akan kedengaran seperti pembelaan diri, atau penghiburan ala pecundang. yang gagal membawa wanita idamannya bermain cinta. Meski sesungguhnya, aku tidak terlalu terluka, seperti yang mungkin kau kira. Aku sangat mencintaimu, Ana. Kuharap kau tidak bosan mendengarnya.”
Ana mulai menangis lagi.
Heru mengulurkan tangannya, dengan pelan menyusut butir-butir air yang mengaliri pipi kekasihnya. Tangan itu bergerak lembut sepanjang tulang pipi, menyusuri dagu, lalu naik perlahan. Dengan satu jarinya dia mengusap bibir Ana dan jari itu bisa merasakan tangis yang tak bersuara. Dia mendekatkan kepalanya, dengan lembut mencium dan menekankan bibirnya di kening wanita itu. Ana merangkulkan lengannya ke leher Heru, merapatkan tubuhnya dan membiarkan dirinya menangis dalam pelukannya.
Dalam ruang temaram yang digenangi kepedihan, mereka meringkuk, berpagutan erat. Seperti dua binatang luka, dengan tenaga yang tersisa, berusaha saling menyembuhkan.
Menuju metamorfosis sempurna
Aku adalah gerimis bulan Oktober
Kau spektrum ungu muda
Suatu pagi lebih indah saat terjaga
Melengkung di atas tanggul seribu sungai’
Itulah yang dibisikkan Heru, ketika menciuminya di ruang tamu rumahnya, lama berselang. Banyak malam berlalu dengan Ana memejamkan mata dan kata-kata itu berputar di kepalanya, di dadanya, di perutnya, di sekujur tubuhnya, dengan kehangatan dan kegairahan yang diembuskan pria itu.
Heru tak perlu membuka lipatan kertas itu untuk mengingat isinya. Ia telah hafal seluruhnya hingga ke titik komanya, seperti layaknya para pertapa menghafal mantra-mantra suci mereka. Dia ingat hari kedatangan surat itu, hingga ke detik-detiknya, dan bagaimana ia menelan air mata.
Aku menulis ini, karena tak berani mengatakannya langsung padamu. Aku takut, saat berhadapan denganmu, keberanian dan kemauanku akan memuai, karena sesungguhnya aku masih selalu ingin lari ke arahmu.
Aku tak pernah bertanya, mengapa aku pergi juga ke sana. Aku ingin berada di sana. Bersamamu. Tak peduli betapa keras pikiranku berusaha mencegah. Aku tahu masih ada kesempatan bagiku untuk tertidur, pura-pura lupa bahwa aku telah berjanji denganmu. Jika kutengok ke belakang, aku berjalan penuh kebimbangan. Separuh diriku berkata, ”Tinggallah di rumah!” Separuh lagi berjalan dengan tetap ke arahmu.
Itulah yang menguasai diriku, menggerakkan kakiku, menujukan aku padamu. Namun, suara kecil dalam diriku tak berhenti bicara, ”Tinggallah di rumah. Ingat anak-anakmu. Kasihan suamimu.” Seperti sebuah lagu lama di kaset tua yang berulang-ulang diputar, yang ingin kita matikan, namun gemanya terkadung merasuk dalam telinga bagai penyakit tak tersembuhkan.
Aku menginginkan dirimu, Her. Namun, wanita yang tumbuh dan hidup dengan cara sepertiku selama 35 tahun ini, berkata, ”Aku menginginkan sesuatu yang semestinya tak kuinginkan.” Kau adalah barang mewah dalam etalase yang tak terjangkau olehku, kecuali aku mencurinya. Dengan begitu, bukan saja aku jadi pencuri, kau pun akan berubah dari sesuatu yang berharga menjadi barang haram. Seluruh diriku tahu, bahwa aku tak sanggup meraihmu.
Seandainya kita biarkan semua itu, apa yang terjadi? Kenyataannya, aku menyesal, mengapa tak kubiarkan kau melakukannya. Namun, selebihnya, aku akan memandang diriku sebagai wanita lemah, tidak setia, tak bertanggung jawab, tak bisa dipercaya. Semua itu nilai menjadikan aku wanita yang kau lihat di pinggir Kali Bedog itu dan yang membuatmu jatuh cinta.
Yang terburuk, aku akan merasa diriku sesungguhnya tak berharga lagi untuk kau cintai. Sungguh, aku akan merasa rendah diri. Kau akan melihatku menderita, dan mulai menyalahkan dirimu sendiri. Lalu, kau akan ikut menderita. Artinya adalah kesia-siaan. Aku tak mau itu terjadi. Aku menolak menjadikan kita berdua sebagai sebuah kesia-siaan! Itu terlalu menyedihkan.
Jika mencintaimu adalah salah, aku akan membuatnya menjadi benar. Hanya dengan mencintaimu, keseluruhan diriku yang terbaik muncul dan kutemukan.
Orang menggunakan metamorfosis kupu-kupu untuk menggambarkan kisah pertobatan yang indah. Melalui dirimu aku terlahir kembali ke dunia. Seperti kupu-kupu menemukan dirinya sebagai makhluk baru. Aku adalah wanita yang sama dengan yang kau jumpai waktu itu. Hanya kini aku memahami diriku dan arti keberadaanku di dunia. Aku berjalan dari satu fase ke fase berikutnya, dengan dirimu di sisiku. Tidak ada lagi ruang kosong dalam diriku. Kau telah mengisinya dan menjadikan metamorfosisku sempurna.
Sebab, tanpa dirimu, kupu-kupu itu takkan pernah terbang.
Ia telah berkata pada Ana, jika wanita itu menghendaki, ia akan minta pindah ke daerah lain. Ana mengangguk. Heru tahu, begitulah akhir hari-harinya di suatu tempat yang bukan sekadar titik tak bernama. Ia menyimpan setiap detik yang tersisa dari hari-harinya bersama Ana, saat-saat pendek yang berharga.
ISempat terpikir, bagaimana Ana mengatasi rasa sepi dan kehilangan oleh perpisahan. Mungkin, wanita itu akan sering berjalan-jalan di pinggir Kali Bedog, mencari pelangi, seperti ketika ia melihatnya waktu itu. Namun, Ana telah memutuskan. Dia menghormati apa pun keputusan Ana. Lagi pula, akan lebih menyakitkan bagi mereka berdua, jika ia terus berada di dekat wanita itu, saling memandang dan bersikap seolah tak ada apa-apa.
Baginya, perpisahan bukannya tidak berat. Ia memaksa dirinya, seperti orang mencabut paksa sebatang pohon lengkap dengan akar-akarnya, untuk kedua kalinya meninggalkan tempat yang sesungguhnya tak ingin dia tinggalkan. Dia tidak berpaling ketika melewati rumah Ana. Dia bertahan dengan semua kewarasan yang masih dimilikinya, melawan dorongan tak terkendali, untuk berbalik dan memberi sebuah ciuman perpisahan. Dia tahu, jika melakukannya, dia tak akan punya kesanggupan untuk meneruskan niatnya. Suatu kegilaan pasti mendorongnya untuk memaksa Ana pergi bersamanya. Meski sambil menangis, Ana akan mengikutinya.
Sambil merapatkan jaket menembus kabut pagi, melewati jalanan berliku menuju gedung sederhana tempatnya mengajar, ia mengingat sebuah tempat dengan seorang wanita memesona, yang memiliki kegairahan tersembunyi dan keindahan sederhana, yang tak bisa terjemahkan dengan kata-kata.
(Tamat)
Penulis: Wahyuni Sayekti Kinasih
Pemenang Pertama Sayembara Mengarang Cerber femina 2006