Food Trend
Racun di Meja Makan

9 Apr 2012

Anda patut heran, atau justru kagum, karena racikan tradisional berhasil mengolah hidangan dari bahan mengandung racun, jadi sajian yang sedap dan aman! 

Jengkol

Buah jengkol biasa dijadikan gulai, semur, ataupun sayur asem, emping, atau bahkan digado mentah-mentah. Di daerah yang lain justru cenderung dihindari. “Repot, baunya tetap menyengat di mulut, walau sudah beberapa jam kita menikmatinya,” ungkap yang tidak setuju. 

Tapi, yang lain akan mengatakan, “Makan jengkol itu nikmat, nafsu makan bertambah, apalagi dengan sambal gandaria plus gabus asin goreng. Boleh dikata, mertua lewat,  nggak bakal kelihatan...!” ungkap seorang mantan None Jakarta.

Secara alami, jengkol mengandung asam jengkolat (jengkolat acid) yang bersifat racun. Keracunan jengkol akibat terlalu banyak menyantapnya, disebut kejengkolan. Indikasiya adalah susah buang air kecil karena asam jengkolat menumpuk dan menyumbat saluran urine.

Untuk menghilangkan kandungan asam jengkolat ini, buah jengkol biasanya direndam air abu dan garam, baru diolah dan dihidangkan. Bahkan, untuk dimakan mentah sebagai lalap, jengkol terlebih dulu ditanam beberapa hari hingga keping gandanya rekah dan tumbuh kecambah. Jengkol seperti ini disebut bewe, dan dijamin tak lagi mengandung asam jengkolat dan bebas aroma tak sedap. 
Talas

Beberapa yang biasa dimakan adalah talas bogor, bentul, belitung, bali, kimpul, lompong sagu, dan lainnya. Tapi, sudah dari sono-nya, umumnya talas mengandung getah yang bisa membuat kita keracunan. Lidah atau kerongkongan yang tersengat akan terasa gatal. Tangan yang terkena getah saat mengolahnya pun terasa seperti melepuh. Tapi, bagi masyarakat tradisional, itu hal yang lumrah. Untuk mengurangi kemungkinan adanya racun, umbi talas  yang sudah dikupas dan dipotong-potong biasanya dicuci dan direndam hingga getahnya keluar. Banyak yang merendamnya dengan garam, karena dipercaya bisa menetralisasi  toksin.

Kolang-kaling

Keunggulan tradisional Indonesia bisa disaksikan pada kehadiran kolang-kaling, celuruk,  atau buah atep, yang umum menjadi bagian dari semangkuk es campur. Kolang-kaling adalah bahan pangan yang diolah dari biji buah aren atau buah bogor (nama Kota Bogor diambil dari nama pohon palem satu ini). 

Buah aren yang di musimnya tampak bergerombol dan beruntai-untai di ketiak pelepah daun, amat mengandung racun. Tupai dan monyet pun tak suka menyantapnya. Baru dipetik saja getahnya segera menyengat. Kulit melepuh dan hangus. 

Untuk membuang habis getah beracun di kulit buah, awalnya buah-buah tua sebesar kol brasicca itu diproses dengan dua cara: direbus atau dibakar hingga kulit bagian luarnya hangus. Bagian yang hangus terbakar itu dibuang menggunakan pisau atau alat pencungkil. Selama proses ini,  pekerja tetap berhati-hati dengan telapak tangannya, karena ada kemungkinan getah beracun masih tersisa di buah-buah yang hangus.

Biji buah aren yang baru dikupas ini biasanya masih keras, kusam kekuningan, dan baru menjadi putih transparan setelah direndam air tawar bersih. Makin lama direndam,  makin bening dan lembut. Bahkan, kolang-kaling kualitas terbaik  direndam menggunakan air cucian beras!

Jamur

Berjenis jamur menghiasi ceruk-ceruk bumi Nusantara. Dari jamur bintang yang bekerjap dan memancarkan sinar di gelap malam, hingga jamur langka endemik Jawa, yang di pasar gelap  berharga belasan dolar AS per buah.

Jauh sebelum beberapa jenisnya dibudidayakan di dalam kubung, pondok-pondok kedap udara dengan suhu tertentu untuk menumbuhkan jamur budi daya, jamur dipungut langsung dari alam. Di perkebunan karet ataupun pinggiran hutan, para pekerja atau  warga biasa memunguti berjenis jamur yang mekar di tanah  dan serasah  untuk dijadikan bahan sayur. Biasanya, di pagi hari saat jamur mekar penuh, mereka berlomba dengan babi hutan yang amat suka jamur.

Advertisement
Tapi, kita tahu, ada banyak jenis jamur beracun mematikan di antara beberapa jenis saja yang aman dikonsumsi. Gawatnya, tak jarang bentuk yang beracun itu mirip-mirip dengan yang layak disantap. Buntutnya, tak jarang kita mendengar kasus-kasus keracunan jamur di meja makan. Karena itu, di mana pun berada, ada baiknya kita mengonsumsi jamur-jamur populer yang sudah dibudidayakan, atau yang biasa dikonsumsi masyarakat setempat saja.

Tempe Bongkrek

Film Sang Penari dibuka dengan adegan memilukan. Orang-orang di desa tewas bergelimpangan usai menyantap tempe bongkrek. Sebuah kenyataan bahwa di banyak desa, atau bahkan di kota-kota di Pulau Jawa, warga kerap tewas karena keracunan tempe bongkrek.

Di Jawa khususnya, nyaris semua jenis biji kacang polong bisa difermentasi menjadi tempe. Sebut misalnya tempe benguk dari biji kacang kara atau tempe kemlandingan dari biji lamtoro. Bahkan, ada tempe berbahan bungkil kelapa yang sudah diperas santannya. Inilah yang populer dengan nama gembus atau tempe bongkrek.

Asam bongkrek (bongkrek acid) adalah toksin pernapasan yang lebih mematikan daripada sianida. Menurut Elvira Syamsir, Staf Pengajar Dept. Ilmu & Teknologi Pangan, Fateta, IPB, asam ini dapat terbentuk dalam proses fermentasi bungkil kelapa sewaktu pembuatan tempe bongkrek yang terkontaminasi bakteri Burkholderia gladioli pathovar cocovenenans. Agak sulit mengontrol kontaminasi yang terjadi ini.

Hingga kini masih saja ada orang membuatnya secara sembunyi-sembunyi, karena penggemarnya juga ada. Terserah Anda. Nekat icip-icip (karena penasaran) dengan risiko meregang nyawa, atau justru menghindarinya.

Mabuk Kepayang

Mabuk karena makan buah kepayang (Pagium edule) atau kalawak (Banjar), keluak (Jawa), panrassan (toraja), picung (Sunda), pucung (Betawi).

Siapa sangka kalau bumbu khas berwarna hitam ini perlu melalui proses panjang sebelum akhirnya aman dikonsumsi.

Buah kepayang mengandung racun sianida dalam bijinya. Untuk menghilangkan racun, buah tua yang jatuh, sengaja dibiarkan tergeletak, terkena hujan dan angin. Bahkan ada yang dicemplungkan ke lumpur selama 2-3 minggu. Akar kulit dan serabutnya akan mudah dikupas, bagian bijinya akan membusuk, berwarna hitam kecokelatan. Dan, inilah yang membuat picung bebas racun.

Gadung

Ada beberapa varietas gadung. Di Jawa, yang berumbi putih  dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan. Kecil berlekuk-lekuk disebut gadung suntil,  dan yang berumbi kuning namanya gadung kuning, gadung kunyit, atau gadung padi. Umbinya dapat pula difermentasi menjadi arak, karena itu orang Malaysia mengenalnya  sebagai ubi arak.

Di Indonesia dan Cina, umbi gadung parut mengobati penyakit kusta tahap awal. Di Thailand, diolesi untuk mengurangi kejang perut dan kolik. Di Filipina digunakan untuk meringankan arthritis dan rematik.

Khasiat untuk pengobatan ini ternyata berasal dari kandungan toksin yang terkandung dalam umbi ini. Dan karena toksin ini sebenarnya umbi gadung bukanlah bahan pangan yang aman. Sepotong umbi seukuran apel, cukup untuk membunuh seorang pria dewasa dalam waktu 6 jam.

Tapi, lagi-lagi 'kehebatan' manusia mampu mengubah racun jadi makanan. Untuk melarutkan racun sianidanya, umbi ini dikupas, diiris, direndam dalam air mengalir (7-10 hari), dipendam dalam abu dapur (mengandung NaOH). Kemudian, dicuci, digarami, dan siap digoreng jadi keripik gadung sedap. (f)



 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?