Travel
Meniti Hutan Batu Tsingy de Bemahara

18 Feb 2016




 Madagaskar, negara yang saya, Haya Nufus, dan keluarga diami sejak dua tahun lalu adalah pulau terbesar keempat di dunia yang terletak di lepas pantai tenggara Benua Afrika. Meski terpisah dari daratan luas Afrika, ia tetap tegak menghadang Samudra Hindia karena gunung-gunung batunya adalah pasak yang kokoh. Bentangan alamnya kaya dengan flora dan fauna endemik yang sulit ditemukan di bagian lain di dunia. Keinginan saya untuk mengunjungi banyak tempat di Madagaskar ini jadi tak terbendung. Salah satunya, yang juga paling diincar para petualang, adalah hutan batu Tsingy de Bemahara.



Legenda Pohon Kekasih
Tiap daerah dan pulau-pulau kecil di sekeliling Madagaskar begitu menggoda untuk dikunjungi. Bulan April lalu kesempatan itu datang. Saya, suami, dan anak-anak sepakat bergerak ke bagian barat pulau, menuju Tsingy de Bemahara yang masuk ke wilayah Melaky. Keputusan ini tak mudah, karena Tsingy de Bemaraha bukanlah destinasi wisata yang tepat untuk dikunjungi bersama anak-anak, terutama yang masih berusia 5 dan 9 tahun.

Namun, saya juga tak ingin mengubah rencana, sebab ini adalah satu destinasi terbaik di Madagaskar yang menjadi incaran para petualang. Saya memutuskan lebih baik membawa anak-anak bersama kami daripada menyesal karena melewatkan satu tempat terbaik. Lebih baik mencoba berjalan bersama hingga mencapai titik yang saya tahu saya atau anak-anak harus berhenti, setidaknya kami sudah mencoba.

Jawaban menenangkan datang dari pengusaha travel yang kami hubungi. “Bisa! Jika tidak kuat berjalan hingga 18 kilometer, Anda bisa mencari sejenis pedati yang ditarik sapi di sana,” katanya. Kalimat itulah yang saya jadikan pegangan selama perjalanan.    
Pukul 7 pagi kami bergerak meninggalkan Antananarivo, untuk menempuh 10 jam perjalanan dengan mobil sewaan jenis 4WD. Pukul lima sore, kami sampai di Morondava, ibu kota Menabe, yang memiliki pemandangan yang indah, pantai dengan pasir-pasir putih yang bersih, juga perkampungan nelayan yang bisa dicapai dengan menaiki sampan kayu kecil.

Hasil lautnya melimpah. Ikan segar, lobster, dan udang yang besarnya melebihi telapak tangan saya menjadi andalan menu makan kami. Di penginapan kami yang menghadap Selat Mozambik yang berair hangat, kami menikmati matahari terbenam bersama semburat merah di garis batas laut.

Esoknya, setelah puas bermain ombak laut, kami kembali bergerak menuju daerah lainnya. Setelah berjalan sekitar tiga kilometer mobil harus berbelok keluar dari jalan utama dan memasuki jalanan tanah merah yang kondisinya buruk karena musim hujan beberapa bulan lalu.

Beberapa ratus meter kemudian kami memasuki kawasan Allée des Baobabs, yaitu kawasan jalanan tanah yang diapit pohon-pohon baobab raksasa yang bisa mencapai usia 800-an tahun. Pohon dari spesies Adansonia ini dipercaya sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan masyarakat setempat, juga dipercaya sebagai  renala (yang artinya ibu belantara), leluhur bagi hutan Madagaskar.

Sekitar tiga puluh pohon tumbuh mengapit jalan dan lebih seratus lainnya tersebar di dalam hutan. Bentuknya unik menyerupai botol yang seolah tertanam terbalik, menghadirkan imaji kalau ranting-ranting itu serupa cakaran ke langit. Pohon baobab ini bisa tumbuh mencapai ketinggian 5 sampai 30 meter dengan diameter batang 7 sampai 11 meter. Dari 9 spesies yang ada, 6 spesiesnya adalah native atau asli Madagaskar, 2 spesies lainnya dari daratan Benua Afrika dan Arabian Peninsula, dan 1 spesies lainnya dari Australia.

Kami tidak bisa menahan diri untuk singgah dan menjenguk sang legenda, baobab amoureux, yang terletak 7 kilometer dari Allée des Baobabs. Baobab amoureux adalah dua batang pohon yang saling melilit. Konon, ada sepasang kekasih yang saling mencinta, namun mereka tidak mungkin menikah karena sudah sama-sama memiliki pasangan yang dijodohkan orang tua. Dalam keputusasaan akan nasib cinta mereka, keduanya berdoa sepenuh harap agar bisa disatukan. Maka, tumbuhlah pohon ini, saling melilit tak ingin lepas, tumbuh berabad lamanya, menjadi cerita rakyat yang terus dikisahkan.


Medan yang Menantang
Makin jauh kami masuk ke dalam hutan, perjalanan dengan 4WD pun terasa  makin berat. Kami menerobos semak, dan harus melewati lubang besar menganga yang berlumpur dan tergenang air. Hingga akhirnya kami sampai juga di sebuah desa, di mana kami harus melintasi aliran Sungai Tsiribihina dengan menggunakan rakit. Dua perahu tradisional dengan dua mesin digabung menggunakan susunan papan tebal di atasnya. Rakit itu membawa mobil, sepeda motor, juga warga lokal menuju Desa Belo.

Sekitar 40 menit kami menikmati pemandangan sungai di atas rakit ini. Kami memutuskan untuk berhenti di Desa Belo untuk makan siang dan beristirahat sebentar. Beberapa 4WD juga melakukan hal yang sama. Rupanya, ini adalah desa pemberhentian. Meski tak besar, kami masih bisa menemukan toko-toko yang menjual ragam kebutuhan. Keluar dari Desa Belo ini tidak lagi ada pasar. Yang ada hanya permukiman warga yang antar-rumahnya terletak berjauhan berseling hutan.

Matahari turun dengan sempurna ketika kami sampai di Camp Croco di Desa Bekopaka. Kami disambut gelap, karena tidak ada listrik di desa ini. Ketika gelap seperti ini, bintang yang bertaburan di langit terlihat sangat terang, melebihi yang biasa kami lihat di langit ibu kota. Lanto, penanggung jawab camp yang menerima kami, menjelaskan bahwa listrik hanya menyala dari pukul 7 hingga 9 malam dengan menggunakan generator. Lalu suara bising generator terdengar dihidupkan.

Di sekitar kami tampak beberapa tenda dari kain kanvas berderet di halaman depan. Mobil beroda besar yang tampak berlumpur pun memenuhi area parkir. Setelah beberapa obrolan, saya tahu orang-orang di sini memiliki tujuan yang sama dengan kami, yaitu menjelajahi Tsingy de Bemahara.

 Kami datang bersamaan dengan dua orang turis berkewarganegaraan Prancis, Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan India. Mereka seperti kami, memiliki pekerjaan di ibu kota untuk waktu tertentu dan menyempatkan diri untuk menjelajah ke bagian lain Madagaskar. Ada juga para peneliti biodiversity, yang biasanya tinggal hingga  berbulan-bulan dan berpindah-pindah.

Malam itu kami dibawa ke pondok-pondok yang berderet di antara pohon-pohon besar. Di satu pondok itulah kami akan bermalam. Pondok kami layaknya rumah masyarakat lokal, terbuat dari anyaman bambu beratap pelepah yang terbuat dari sejenis ilalang yang dianyam. Toilet dan kamar mandi terletak di luar pondok, dengan drum besar tampungan air untuk mandi. Kami menggunakannya bersama tamu lainnya.

Di langit-langit pondok, seekor bunglon sebesar lengan bertengger. Kami tak mengusirnya karena mereka tak mengganggu. Mungkin dulunya kawasan ini adalah belantara rumah mereka. Kami disediakan kelambu untuk melindungi diri dari nyamuk juga serangga lain. Malam itu kami makan ikan air tawar yang digoreng dengan nasi panas dan acar rawit. Mungkin karena kelelahan, putra saya bisa juga tidur lelap, meski udara panas dan kering. Kondisi pondok sangat seadanya, jauh dari layanan penginapan.

Tengah malam saya terbangun karena mendengar suara menyerupai jeritan. Saya sudah diberi tahu, itu adalah suara lemur, hewan endemik Madagaskar yang termasuk dalam kelompok primata. Mereka bersifat nocturnal dan sering mencari makan hingga ke dekat camp.

Eksplorasi Gua dan Hutan Batu
Kawasan cagar alam ini dikenal sebagai hutan batu. Nama Tsingy,  bagi masyarakat lokal artinya adalah tempat di mana kita tidak bisa berjalan. Maklum, konturnya adalah bebatuan yang berujung runcing dan tajam. Taman nasional ini merupakan rumah bagi 7 spesies lemur, binatang endemik Madagaskar yang terancam punah. Selain itu, tinggal juga aneka spesies kupu-kupu, bunglon, dan   tumbuhan endemik langka. Area seluas 1.575 km² ini menjadi UNESCO World Heritage Site pada tahun 1990.

Advertisement
Setelah mencari informasi di pusat wisatawan yang berada sekitar 3 kilometer dari camp, kami menyusuri Sungai Manambolo bersama seorang pemandu. Sungai ini airnya berwarna kuning gelap karena dasarnya dipenuhi sedimen tanah yang berasal dari erosi hutan. Dari atas sampan kami melihat gua-gua batu, juga bagian bawah dari Le Petit Tsingy, 1 dari 2 bagian taman nasional ini, yang berjejer menyerupai bukit batu kecil, dengan pohon hijau rimbun di atasnya.

Pemandu kami menunjukkan daerah di mana makam suku Vazimba berada di atas bukit itu. Vazimba adalah suku tertua yang dipercaya sebagai penghuni pertama Madagaskar. Hingga kini, meski jumlahnya makin sedikit, suku Vazimba dipercaya masih hidup secara primitif di hutan-hutan Madagaskar, termasuk di kawasan taman nasional ini.
Kami berhenti dan masuk ke sebuah gua untuk melihat stalaktit dan stalakmit yang terbentuk di dalam dasar dan langit-langit gua. Sayangnya,  kami tak diperbolehkan masuk hingga terlalu dalam karena kondisinya yang sulit  dijangkau. Setelahnya, kami berbalik arah dan kembali menuju Le Petit Tsingy. Kami memilih rute 3 kilometer dengan waktu tempuh berjalan kaki sekitar empat jam.

Untuk bisa sampai ke pucuk-pucuk Tsingy, kami harus melewati hutan dan memasuki labirin yang berkelok-kelok. Labirin ini terkadang menyempit hanya seukuran tubuh dewasa. Kami kerap harus memiringkan badan, melangkah dengan posisi menyamping. Kami juga harus menapaki tangga batu yang menempel di dinding Tsingy secara sangat hati-hati untuk mencapai beberapa titik tertinggi. Kedua putra saya tidak tampak takut atau lelah, malah terlihat penasaran karena banyak bertanya kepada pemandu dalam bahasa Prancis.

Kami pun terpukau ketika sampai di atas jembatan kayu yang terbentang di  antara puncak-puncak Tsingy. Pemandangan bebatuan berujung runcing di depan kami bukan hal yang biasa. Di atas kami langit biru cerah sangat cantik. Karang-karang Tsingy ini terbentuk sejak 200 juta tahun yang lalu akibat tetesan hujan, sedikit demi sedikit sampai seperti bentuk sekarang. Hutan batu ini berada di ketinggian 300 sampai 400 meter di atas lembah Sungai Manambolo. Di sela-sela Tsingy juga tampak tumbuh tanaman-tanaman endemik. Kami menghabiskan waktu hingga sore di kawasan Le Petit Tsingy ini.

Esok harinya, karena medan yang lebih berat dan kami tak berhasil menemukan transportasi ke Le Grand Tsingy, bagian lain dari taman nasional ini, hanya suami saya yang ke sana. Saya dan kedua putra saya menunggu di camp sambil berkeliling desa dan menjelajah kembali Sungai Manambolo. Meski berair keruh, kedua putra saya tidak takut untuk mandi dan bermain bola air bersama anak-anak desa. Keduanya juga belajar mengayuh sampan bersama mereka.

Le Grand Tsingy terletak 18 kilometer dari Desa Bekopaka. Untuk ke sana, suami saya harus menyewa sepeda motor. Ada sirkuit yang telah ditandai oleh pemandu. Kita bisa memiliki sirkuit pendek dengan waktu jelajah 2 jam atau sirkuit panjang dengan waktu 6 jam. Kata suami saya, untuk menaiki dan sampai di jembatan, pemandu akan meminta kita memasang tali pengaman di pinggang, untuk menjaga jika kita tergelincir. Beberapa peneliti flora dan fauna kerap bermalam dan mendirikan tenda di kawasan ini.

Tinggal di Antananarivo
Ibu kota Antananarivo memiliki iklim subtropis dataran tinggi. Rentang bulan Juni hingga Oktober musim dingin akan meliputi kota dengan titik terendah yang bisa mencapai 7° C. Tak pernah turun salju, namun dinginnya membuat kami harus memakai baju dingin yang berlapis dan sepatu bot jika keluar rumah, juga menyalakan pemanas ruangan atau menghidupkan tungku api di rumah. Musim dingin akan ditutup dengan musim penghujan yang biasanya berangin kencang, lalu berganti musim panas. Suhu di musim panas bisa mencapai 35° C.

Sebagai daerah bekas jajahan Prancis, pengaruh Prancis masih sangat terlihat. Terutama dari bangunan kota-kota, sistem pendidikan, dan dua bahasa resminya, yaitu bahasa Malagasy dan Prancis. Kehidupan sosial masyarakatnya tidak terlalu baik, kesenjangan antara yang kaya dan miskin sangat kentara.

Menariknya, suku Merina yang adalah suku terbesar di dataran tinggi Antananarivo dipercaya berasal dari Nusantara. Menurut para peneliti sejarah, berabad yang silam pelaut dari Nusantara telah datang ke pulau terisolir ini dengan perahu sederhana. Mereka menetap dan membentuk desa yang menjadi cikal bakal Kerajaan Merina. Karenanya, karakter fisik mereka berbeda dengan suku pesisir yang berasal dari Afrika daratan. Suku Merina memiliki kulit lebih terang dengan rambut hitam lurus dan berperawakan sedang. Berbeda dengan suku pesisir yang berkulit gelap dan rambut keriting. Secara umum, mereka bangsa yang ramah dan rendah hati.


Biaya Transportasi
•    Dari Desa Belo menuju Tsingy juga bisa dicapai melalui jalur Sungai Tsiribihina. Biasanya membutuhkan waktu tujuh hari perjalanan, sambil berhenti di beberapa tempat untuk bermalam. Biaya yang dikenakan mulai 1.000.000 ariary (Rp5.000.000).
•    Kami memilih perjalanan darat menggunakan mobil 4WD sewaan dari Antananarivo. Biaya sewa 150.000 ariary (Rp750.000)/hari. Kami membutuhkan waktu sekitar tujuh hari, termasuk perjalanan pulang-pergi dari Antananarivo-Morondrava-Belo-Bekopaka.
•    Untuk penyeberangan kapal di Sungai Tsiribihina biayanya 40.000 ariary (Rp200.000) dan membutuhkan waktu tiga puluh menit.
•    Selain Camp Croco dengan sewa 30.000 ariary (Rp150.000)/malam, ada juga penginapan lain dengan layanan yang lebih baik, misalnya Hotel Le Soleil des Tsingy, Hotel Orchidee du Bemaraha, Olympe du Bemaraha. Harga yang ditawarkan dari  70.000 hingga 200.000 ariary (Rp350.000-Rp1.000.000)/malam.
•    Untuk jasa pemandu umumnya 30.000 ariary (Rp150.000)/grup.
•    Perahu kayu 10.000 ariary (Rp50.000)/orang.
•    Tiket masuk ke Petit Tsingy sekitar 25.000 ariary (Rp125.000)/orang, keliling sirkuit pendek 4 jam di Le Petit Tsingy, dan masuk ke gua,  50.000 ariary (Rp250.000)/orang.
•    Menuju Grand Tsingy, sewa motor 100.000 Ariary (Rp500.000) dengan pemandu. Tiket masuk dan keliling sirkuit pendek, 61.000 ariary (Rp305.000) /orang. Sirkuit panjang 100.000 ariary (Rp500.000)/orang.
•    Total perjalanan 7 hari kami sebesar Rp12,5 juta.

SURVIVAL TIPS
•    Berani menawar karena semua harga yang ditawarkan sangat bervariasi dengan selisih yang tinggi.
•    Siapkan minum dan bekal yang cukup karena harga biasanya mahal dan sulit didapat.
•    Bawa selalu tisu basah karena toilet sangat susah ditemukan atau tidak terjaga kebersihannya.
•    Bawa lampu darurat berenergi baterai atau senter karena listrik yang sangat terbatas.
•    Bawa obat-obatan, juga alat P3K, lotion antinyamuk, pakaian ringan yang nyaman karena udara yang gerah dan serangga malam yang sangat banyak.
•    Bekali diri dengan peta lokasi atau alat GPS.
•    Masyarakat lokal ramah, namun tak banyak yang mengerti bahasa Inggris. Membawa kamus bahasa Malagasy atau bahasa  Prancis akan sangat membantu berkomunikasi.(f)

Haya Nufus




 




 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?