Jawaban dari pertanyaan itu bisa ditemukan di buku Carla Madden berjudul Self Taming Your Inner Online Menace. Sekarang, mungkin usia kita 20, 30, atau lebih, namun usia kita di online sesungguhnya baru dimulai sejak kita pertama kali memiliki e-mail.
Menurut Carla, jika pada akhir tahun ‘90-an itu kita baru ‘lahir’, tak heran setelah tahun 2008 hingga sekarang ibaratnya usia kita masih remaja. Wajar jika kepribadian online kita masih memasuki masa pubertas. “Seperti halnya remaja yang emosinya masih meletup-letup, ada kalanya dia happy, patah hati, kesal karena berantem dengan orang tua, stres karena nilai ujian anjlok, dan sebagainya. Begitulah kepribadian online kita, sangat emosional dan penuh eksperimen. Berapa pun usia kita, ini adalah tahapan yang tidak bisa dilewatkan bagi sebagian orang,” tulis Carla.
Di Indonesia, kedekatan masyarakat yang relasinya guyub juga ‘pindah’ ke media sosial. Hal ini bisa dilihat dari teman Facebook kita. Di antara ribuan teman kita itu pasti ada orang tua, om, tante, sepupu, sampai keponakan, kakek, nenek, atau bahkan kerabat yang baru lahir. Hal ini tentu membutuhkan cara berkomunikasi yang lebih hati-hati. Salah menulis status, bisa diomongin keluarga. Mau meng-unfriend mereka di Facebook, bisa-bisa dibawa ke pembicaraan arisan keluarga besar. Harus diakui, unfriend di Facebook memang tidak bisa dilakukan sembarangan.
Sekarang, yang lebih baru ada Path, jejaring sosial yang terbatas hanya untuk 150 orang friend. Karena jumlahnya dibatasi, tentu repot bagaimana menyortir siapa teman yang akan masuk daftar shared. Dari keluarga besar, kolega kantor, teman main, teman masa sekolah, klien, atau relasi dekat. Setelah diseleksi, eh, postingan-nya tetap saja di-publish ke Twitter atau Facebook. Alhasil, postingan-nya tidak lagi menjadi eksklusif. Jangan protes kalau nanti di-unshared oleh friend.