Dahulu, pasangan sejati kebaya encim adalah sarung batik pesisiran dengan warna- warna cerah bermotif flora dan fauna maupun mitologi dan simbol kebudayaan Tionghoa, di antaranya burung phoenix, naga, kupu-kupu, dan swastika. Tiap daerah memiliki motif unik yang berbeda.
Jika di Cirebon didominasi oleh motif mega mendung dan peksi naga liman, maka Pekalongan kaya akan kain batik pagi-sore dan tipe batik ho ko kai yang bermotifkan kupu-kupu sebagai lambang kesetiaan dan kebahagiaan. Lain lagi dengan daerah Lasem, yang didominasi motif lok chan warna merah. Sedangkan di daerah Semarang, kebaya encim biasanya dipakai bersama kain batik 3 negeri yang diwarnai 3 kali di 3 daerah yang berbeda (proses pewarnaan merah di daerah Lasem, lalu dikirim ke Pekalongan untuk diwarnai biru indigo, kemudian dikirim ke Solo untuk diwarnai cokelat).
Menurut Musa Widyatmodjo, perancang busana papan atas Indonesia yang juga konsisten mengusung rancangan kebaya encim dalam beberapa koleksinya, pakem hanya berlaku jika kita berbicara prosesi adat, misalnya prosesi akad nikah, bukan resepsi. Kebaya encim sendiri sebenarnya hanya dipakai oleh para tamu dan orang tua yang hadir dan tidak mengambil bagian dalam upacara adat. Namun, jika berbicara untuk kehidupan sehari-hari atau pembuatan foto komersial, maka otomatis pakem tidak wajib berlaku.