“Berbadan sehat, jasmani dan rohani.” Anda yang pernah berjibaku di bursa kerja tentu tidak asing dengan kalimat yang sering muncul dalam persyaratan rekrutmen tenaga kerja ini. Selain pemaknaannya yang ‘abu-abu’, kalimat ini kerap menjegal penyandang disabilitas di tanah air untuk bisa berkontribusi di jalur formal.
Jaminan pemerintah berupa kuota 1% untuk tiap 100 pekerja bagi penyandang disabilitas juga baru berlaku di atas kertas. Sebab, pada kenyataannya mereka belum diinginkan! Padahal, penyandang disabilitas adalah bagian dari 63 juta angkatan kerja Indonesia yang kompetensinya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di tengah suasana hiruk pikuk orang yang lalu-lalang, terlihat dua pengguna kursi roda bergerak maju mundur kebingungan dengan sebuah map di atas pangkuan. Di sudut lain, seorang pria tampak serius mencermati daftar panjang pengumuman. Ia menopangkan tubuhnya pada sebuah kruk, sementara lengan lainnya mengepit sebuah map.
Begitulah suasana bursa kerja nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Tenaga Kerja pada awal Oktober 2013, di Kemayoran, Jakarta. Mengangkat tajuk ‘Mempercepat Penempatan Tenaga Kerja yang Inklusif’, bursa kerja ini menjadi yang pertama yang membuka jalur kesempatan bagi para penyandang disabilitas di Indonesia yang menurut perkiraan WHO jumlah totalnya mencapai 24 juta orang, atau 10% dari jumlah total penduduk Indonesia.
Sayang, upaya terobosan pemerintah yang layak diacungi jempol ini masih menyisakan fakta menyedihkan yang terekam dalam video investigasi berdurasi 17 menit berjudul Job(Un)Fair (dapat diunduh di www.betterworkindonesia.org). Para penyandang disabilitas ini tampak tercecer dan tenggelam dalam lautan ribuan pencari kerja lain yang bergerak lebih gesit dibanding mereka.
Berbagai ekspresi kecewa tergurat dari wajah mereka saat menerima penolakan demi penolakan. Padahal, kata ‘inklusif’ ini telah membuat para penyandang disabilitas ini berharap tinggi, mereka pun bisa ikut mengaktualisasikan diri dan berkontribusi di jalur formal. Namun, apa mau dikata, baru saja hendak menyerahkan CV, mereka sudah ditolak.
“Tuntutan pekerjaan tidak memungkinkan dilakukan oleh penyandang disabilitas.” Begitulah mayoritas alasan yang diberikan oleh para petugas perwakilan dari 120 perusahaan peserta bursa. Padahal, ada sebanyak 4.326 lowongan pekerjaan yang mereka tawarkan. Beberapa di antaranya, public relations, tele-marketing, petugas front office atau operator telepon, bahkan tenaga teknisi, adalah jenis pekerjaan yang sanggup dikerjakan oleh para penyandang disabilitas.
Karena gemas, Friska nekat menghapus keterangan disabilitas yang dicantumkannya di CV. Benar saja, strateginya ini berhasil membuahkan beberapa panggilan wawancara. Dengan mengandalkan kepiawaiannya dalam membaca bibir dan artikulasi bicara yang jelas, ia berhasil memperoleh pekerjaan pertamanya sebagai staf divisi teknologi informasi, sesuai dengan latar belakang pendidikan sarjananya.
Padahal, Undang Undang (UU) No.4/1997. Pasal 14 dari UU ini menegaskan kewajiban perusahaan negara dan swasta untuk menyediakan kuota 1% untuk tiap 100 karyawan bagi para penyandang disabilitas. Pasal 28 memberi sanksi yang cukup berat bagi pelanggar, yaitu ancaman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan, dan/atau denda setinggi-tingginya Rp200.000.000.
“Persoalannya, belum ada sosialisasi yang menyeluruh mengenai aturan perundang-undangan tentang kuota 1% ini. Sehingga, banyak perusahaan yang belum tahu bahwa ada keharusan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dan sanksinya kalau tidak mempekerjakan. Ada kesan juga bahwa ini hanya berlaku untuk swasta saja sementara BUMN dan BUMD serta pemerintah sendiri belum menerapkannya,” kritik Yohanis Pakereng, Disability Project Coordinator dari ILO.
Tak hanya dalam pencarian kerja, diskriminasi ini juga dapat terjadi pada penyandang disabilitas yang sudah bekerja. Seperti pengalaman Rachmita Maun Harahap, penyandang disabilitas pendengaran yang berkarier sebagai dosen. Sebelum diangkat sebagai pegawai tetap, ia bekerja selama lima tahun sebagai pegawai kontrak. Ia mendapat sokongan dari Komnas Hak Asasi Manusia dan LBH bagi penyandang disabilitas untuk menuntut haknya sebagai pegawai tetap.
“Setelah beberapa bulan, kesabaran saya habis. Saya datang lagi, dan ternyata berkas-berkas saya tidak disentuh. Saya akhirnya berkata, jika rektor tidak mengambil keputusan, saya akan menempuh jalur hukum karena kampus telah melanggar kesepakatan awal, juga UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, dengan ancaman denda Rp200 juta. Rektor pun kaget. Ia meminta waktu satu pekan. Tak lama kemudian, saya mendapat status pegawai tetap,” cerita Rachmita tentang perjuangan panjangnya.
Disabilitas sering dilihat sebagai charity object, yaitu objek yang butuh dikasihani >>>
Kesempatan lulusan dari SLB tidak bisa punya daya saing yang setara dengan lulusan dari sekolah umum >>>