Sejak kapan Batara Chandra, ayah Hanoman, yang adalah dewa bulan, memetik gitar dalam nada rock & roll? Lalu, seperti apa jadinya ketika Sangkuriang, jawara asal tanah Parahyangan itu melancarkan rayuan maut kepada Dayang Sumbi dalam rangkaian libretto berbalut iringan orkestra musik klasik khas opera Eropa?
EVOLUSI CERITA RAKYAT
Tiga tahun belakangan, dunia pertunjukkan tanah air dimarakkan oleh drama musikal dan tari yang mengangkat tema-tema lokal tradisional, seperti cerita rakyat dan kisah pewayangan. Ada kisah Bawang Merah dan Bawang Putih, Lutung Kasarung, Sangkuriang, Padusi, cerita pewayangan Arjuna Wiwaha, kisah lahirnya kera putih Hanoman, dan banyak lagi.
Hanya, ada yang tak biasa dalam penyajiannya. Seiring zaman, cerita rakyat ini mengalami tahapan evolusi. Dalam pementasan Jabang Tetuko (2011) garapan sutradara Mirwan Suwarso, misalnya. Cerita tentang lahirnya Gatot Kaca ini diramu dengan menggabungkan aksi langsung di atas panggung dengan adegan film atau pergelaran wayang kulit di layar lebar. Pertunjukan yang berlangsung dalam iringan orkestra dengan bumbu adegan pertarungan khas Hollywood ini menjadi distraksi menarik yang membuat orang melihat kesenian wayang orang dan wayang kulit dalam tataran yang berbeda.
Menurut Mirwan, format murni wayang kulit atau wayang orang tidak bisa bersaing di masa sekarang, karena dinilai terlalu lambat dan bertele-tele. Sebab, orang sudah terbiasa dengan tontonan film di televisi yang lebih dinamis. Jadi, gaya penuturan ceritanya harus diubah menjadi lebih singkat dan padat.
”Dalam 88 menit, cerita itu harus tersampaikan. Tiap adegan tidak boleh lebih dari empat menit, dialog dipadatkan agar tidak monoton. Sebagai gantinya, harus lebih banyak aksi atau nyanyian. Ini format yang saya terapkan di tiap pertunjukan saya,” jelas Mirwan.
Strategi serupa ia berlakukan saat menggarap Hamonan the Ultimate Warrior. Mengambil versi Ramayana akan merepotkan karena terlalu banyak karakter yang harus diperkenalkan. ”Saya mempersingkat dengan fokus pada kisah kelahiran Hanoman sampai dia diangkat menjadi kesatria para dewa,” lanjut Mirwan.
Hanoman diperankan secara lincah oleh seniman bela diri Voland Humonglio dengan aksi akrobatiknya yang atraktif. Serangan pasukan Mahesa Sura dan Jatasura ke khayangan dihadang oleh pasukan di bawah pimpinan Batara Chandra –diperankan Piyu, gitaris grup band Padi– yang mengiringi perang dengan lengkingan petikan gitar bernada musik cadas.
Senada dengan Mirwan, sutradara drama musikal Sang Kuriang, Wawan Sofwan, mengatakan bahwa inovasi seni yang ditampilkan ke atas pentas itu merupakan bagian dari usaha para seniman dalam merevitalisasi cerita rakyat yang selama ini dimarginalkan.
Tak tanggung-tanggung, Sunaryo, perupa asal Bandung yang nama serta karyanya telah dikenal di dunia seni rupa, digandeng untuk menggarap desain panggung. Alhasil, terciptalah hutan dengan pepohonan warna putih yang mewakili semangat modern minimalis.
Permainan video mapping karya seniman digital Yusuf Ismail sebagai latar panggung pementasan Sang Kuriang juga berhasil memboyong atmosfer imajinatif yang segar. Demikian juga perpaduan antara unsur klasik dan pop yang diwakili oleh kolaborasi dua komposer kondang, Avip Priatna (konduktor dan komposer orkestra) dan Dian HP (komposer musik pop).(NAOMI JAYALAKSANA)