‘Ensor’, begitulah seharusnya nama Desa Edensor dilafalkan. Awalnya, saya pikir Edensor hanyalah sekadar nama desa khayalan Andrea Hirata untuk salah satu judul novel tetralogi Laskar Pelangi-nya. Begitu saya memutuskan untuk berwisata alam ke Peak District, ternyata nama yang tak asing itu muncul di peta. Edensor ternyata nyata! Benarlah, Edensor merupakan nama sebuah desa di kawasan Derbyshire, Peak District, Inggris.
Namun, jangan heran jika tidak banyak orang lokal yang mengenal Edensor atau tahu di mana letak Edensor berada. Sepertinya, Edensor hanya terkenal di kalangan orang Indonesia. Turis lokal dan Eropa lebih memilih untuk berwisata ke Peak District National Park atau Charsworth House, yang berada tak jauh dari Edensor.
Desa Mungil Penuh Pesona
Perjalanan menuju Edensor selama sekitar 40 menit mengingatkan saya pada perjalanan ke Puncak. Sesaat setelah meninggalkan hiruk pikuk kota, bus berkelok tajam dan berliku menanjak jalan yang bertepikan tebing. Pemandangan pun berganti dengan rerumputan hijau yang diduduki oleh segerombol sapi, domba, dan rusa. Bus terus melaju cepat menembus kedamaian alam pedesaan Derbyshire. Rasa lelah selama perjalanan hampir tiga jam dari London langsung terbayarkan begitu memasuki gerbang pedesaan Edensor.
Objek pertama yang terlihat di Edensor itu adalah Gereja St. Peter, yang menjadi gambar di latar belakang cover novel Edensor. Gereja dengan tinggi menara 50,5 meter ini sudah berdiri sejak tahun 1869 di tengah Desa Edensor. Gereja St. Peter menyimpan banyak nilai sejarah Inggris, mulai dari peninggalan Mary Queen of Scots, bunga abadi dari Queen Victoria, sampai makam dari saudara Presiden US, Kathleen.
Kaki pun kembali melangkah untuk menelusuri jalan rahasia ke Edensor. Jangan salah arah saat memulai penelusuran Edensor. Jika mulai berjalan dari jalur kiri Gereja St.Peter, maka akan berakhir di Jap Lane yang berujung buntu di area pemakaman. Hmm....
Saya pun berjalan dari jalur kanan Gereja St. Peter, menelusuri tapak demi tapak keindahannya. Desa ini sangat sepi, seperti tak berpenghuni. Maklumlah, hanya ada sekitar tiga puluhan rumah di Edensor. Edensor konon merupakan 'desa percontohan', yang sebagian besar penduduknya adalah karyawan Chatsworth Estate atau pensiunan loyalnya. Latar belakang yang sama ini membuat suasana kekeluargaan di Edensor terbentuk harmonis.
Meskipun mendaki, tak terasa letih, sebab di kanan dan kiri jalan disuguhi oleh deretan rumah cantik. Rumah-rumah di desa tersebut dibangun pada sekitar tahun 1839 dan tiap rumah memiliki keunikan. Mengamati keindahan pekarangan depan rumah-rumah Edensor menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Mereka menata halaman depannya dengan berbagai tanaman dan rangkaian bunga. Mulai dari model rangkaian semak berbunga, mawar yang merambat di tembok rumah, hingga bunga yang ditanam di pot-pot mungil, menyajikan kombinasi warna-warni yang sangat menawan.
Selain pekarangan depannya yang cantik, gaya arsitektur rumah-rumah yang tersusun dari batu itu merupakan gabungan dari gaya pintu busur Normandy, bebatuan Tudor, atap Swiss, serta jendela ala Italia. Benar rupanya cerita mengenai keindahan desa khayalan Edensor yang dituturkan Andrea Hirata dalam novelnya, “Jalan-jalan desa menanjak berliku dihiasi deretan pohon oak. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu kukuh dan berwarna kelabu bak pulau di tengah ladang. Di pekarangan, taman bunga mawar menjadi pohon yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, bergelantungan di atas tembok. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya disebari awan-awan kapas.” (Edensor, Andrea Hirata, 2009)
Untuk bisa mendapatkan pemandangan yang lebih bagus, kita harus berjalan mendaki terus sampai ke ujung jalan Edensor, tempat yang sudah tidak tampak rumah-rumah lagi. Dari bukit yang hijau, kita bisa melihat Desa Edensor. Padang rumput berlatarkan bukit-bukit yang bertindihan menjadi halaman luas bagi domba-domba untuk berlari beriringan mengikuti haluan sang gembala. Sungguh indah. Ingin rasanya tinggal lebih lama lagi untuk sekadar menikmati kedamaian Edensor sambil berbaring di bawah pohon oak besarnya.
Kedai Kue tradisional berbasis 'Kejujuran’
Selain kedai kue tradisional berbasis kejujuran, ada juga kedai lain yang berkonsep serupa. Namun, kedai kecil ini menjual aneka sayuran untuk bahan masakan, langsung dari pot kecil yang belum dipetik. Dua kedai kejujuran di Edensor membuat saya berpikir bahwa puluhan orang di Desa Edensor ini sudah saling percaya sehingga mereka yakin tak ada yang berani mengambil apa yang bukan miliknya. Damai sekali, seperti berada di negeri dongeng yang berisi para peri.
Seruput Teh Tradisional ala Edensor
Setelah lelah mengitari Edensor, yang ternyata hanya butuh waktu kurang dari satu jam saja, saya memutuskan untuk beristirahat sejenak di Edensor Tea Cottage. Kafe yang tadinya merupakan farmhouse ini buka tiap hari melayani pengunjung di sekitar Derbyshire. The Tea Cottage menyajikan teh, kue, serta hidangan tradisional Inggris, secara homemade menggunakan bahan-bahan lokal sekitar Chatsworth Estate.
Untuk set tea pot lengkap yang disajikan dengan cangkir tradisional dipasang harga 2,4 - 3,5 poundsterling (Rp50.000 – Rp73.000). Berbagai seduhan daun teh spesial bisa dipilih di sini, mulai dari English breakfast tea, sapphire earl grey, citrus chamomile, darjeeling, atau teh tradisional Yorkshire. Rintik hujan yang perlahan turun membasahi tanah Edensor membuat tiap seruput teh yang disajikan terasa nikmat.
Selain menyajikan kue tradisional sebagai menu spesialnya, tersedia pula menu makan siang yang beragam. Karena perut sudah mulai terasa lapar, saya mencoba aneka sandwiches seafood segar yang dihidangkan dengan keripik kentang dan salad (harga satu porsi sandwich 6,75 poundsterling (Rp140.000). Napak tilas Laskar Pelangi pun berakhir di gerbang Desa Edensor.
Wisata Komplet di Chatsworth House
Gigi yang bergemeletuk akibat dinginnya udara dan langkah yang terhadang oleh kubangan air, seakan tak ada artinya saat saya dihadapkan pada kondisi yang tak terduga. Tiba-tiba saja dari sisi kiri bukit, hanya sekitar 10 meter dari tempat saya berdiri, gerombolan rusa bertanduk bergerak mendekat. Jantung berdetak cepat, khawatir kawanan rusa bertanduk itu akan menyerang. Beruntung, mereka hanya diam dan memandangi seperti heran. Saya pun mempercepat langkah menyadari bahwa tak ada manusia lain yang berjalan di sekitar situ.
Setelah 15 menit berjalan, terlihat juga Istana Chatsworth House yang berkilauan dengan jendela emasnya. Istana ini adalah tempat tinggal Duke of Devonshire sejak tahun 1549. Istana Chartsworth berdiri di balik jembatan batu dengan sungai biru yang mengalir, bagaikan istana di buku dongeng. Di Chatsworth House-lah sebagian warga Edensor bekerja.
Ada tiga objek yang bisa disinggahi di Chatsworth House, yaitu istana, taman, dan farmland. Untuk tiket komplet ketiganya bisa dibeli dengan harga 22 poundsterling (Rp458.000). Saya memutuskan untuk masuk ke farmland saja karena hari sudah beranjak sore, dengan tiket masuk seharga 6 poundsterling (Rp125.000). Di sini, ada berbagai hewan ternak seperti guinea pig, kuda poni, ayam, domba, dan sapi. Tiap harinya ada demo pemerahan susu segar yang menarik untuk ditonton. Anak-anak juga bisa bermain traktor dan berbagai permainan di alam terbuka.
Dari Chatsworth House, saya kembali menuju Sheffield, meneruskan kereta ke London. Ternyata Edensor bukanlah desa khayalan. Saya sangat menikmati tiap sudut kedamaian di sana. Kunjungan singkat ke Chatsworth seakan menjadi pelengkap keindahan Edensor.
“Desa khayalan itu (Edensor) seakan membuka jalan rahasia dalam kepalaku, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar dalam hidupku.” (Edensor, Andrea Hirata)
Tip!
• Jika ingin melanjutkan perjalanan ke Chatsworth House, bisa meneruskan jalur 218 sekitar 5 menit dari Edensor atau berjalan kaki selama 15 menit dari gerbang Edensor menuju Chatsworth House sambil menikmati keindahan alam.
• Jika Anda menggunakan bus 218 pada hari yang sama, tunjukkan tiket bus tersebut dan Anda bisa mendapat diskon 2 poundsterling (Rp41.000) tiket masuk Chatsworth House.