Berita baiknya, perekonomian Indonesia tahun ini justru mulai menunjukkan tren yang cenderung positif. Misalnya, nilai rupiah kini perlahan-lahan mulai menguat ke angka Rp11.000. Dibandingkan tahun lalu, devisa negara juga sudah naik kembali melebihi 100 miliar dolar AS berkat kebijakan pemerintah untuk menekan impor sehingga neraca perdagangan internasional kita mengalami surplus.
Tinggi rendahnya devisa negara ini menentukan kepercayaan para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Meski begitu, di awal tahun ini ada kekhawatiran lain yang membayangi para investor dan pelaku bisnis, yaitu pemilu. Di tahun pesta demokrasi ini, wajar bila segalanya menjadi tidak pasti, berhubung para pembuat kebijakan untuk periode ini akan segera berakhir, dan penggantinya belum dipastikan siapa.
Namun, apabila kita melihat ke belakang, nyatanya krisis ekonomi terakhir yang paling parah terjadi di tahun 1998 dan 2008 bukan terjadi di tahun pemilu. Sementara pada dua pemilu yang lalu, tahun 2004 dan 2009, indeks saham justru naik hingga 44% dan 90%.
Bayangkan, mereka yang bertanding sebagai kandidat harus membeli berbagai atribut kampanye dalam jumlah besar. Kebutuhan untuk spanduk, kaus, sampai pamflet membuat banyak pemilik percetakan kebanjiran pesanan. Ditambah lagi, pedagang-pedagang kecil juga tak sedikit yang diuntungkan dari acara-acara kampanye yang biasanya didatangi ratusan hingga ribuan orang itu.
“Ketika banyak orang melakukan pembelian dalam jumlah besar atau tingkat konsumsinya meningkat, perputaran uang yang terjadi dalam masyarakat menjadi lebih besar. Meningkatnya daya beli masyarakat ini adalah salah satu indikator positif dari pertumbuhan ekonomi,” ungkap wanita yang akrab dipanggil Kiki ini.
Primarita S. Smita
Foto: Corbis