Trending Topic
Bersahabat Dengan Risiko

3 Apr 2014

Menjelang pemilu, rasanya hidup penuh gonjang-ganjing dan ketidakpastian. Partai apa  yang akan memenangkan pemilu dan siapa yang akan menjadi pemimpin negara, menjadi buah bibir dalam percakapan sehari-hari. Situasi politik yang tidak menentu turut membuat kondisi perekonomian meresahkan. Sehingga, tidak kondusif untuk investasi. Padahal, beberapa fakta justru menunjukkan hal yang sebaliknya.

Sepanjang tahun 2013, boleh dibilang Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang cukup besar. Yang paling kita rasakan adalah kenaikan harga BBM yang menyebabkan inflasi menjadi tinggi dan harga-harga barang kebutuhan pokok ikut naik. Belum lagi anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dari angka aman Rp9.000-an, dalam waktu beberapa bulan saja angka ini tembus hingga Rp12.000 per 1 dolar AS.

Berita baiknya, perekonomian Indonesia tahun ini justru mulai menunjukkan tren yang cenderung positif. Misalnya, nilai rupiah kini perlahan-lahan mulai menguat ke angka Rp11.000. Dibandingkan tahun lalu, devisa negara juga sudah naik kembali melebihi 100 miliar dolar AS berkat kebijakan pemerintah untuk menekan impor sehingga neraca perdagangan internasional kita mengalami surplus.

Tinggi rendahnya devisa negara ini menentukan kepercayaan para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Meski begitu, di awal tahun ini ada kekhawatiran lain yang membayangi para investor dan pelaku bisnis, yaitu pemilu. Di tahun pesta demokrasi ini, wajar bila segalanya menjadi tidak pasti, berhubung para pembuat kebijakan untuk periode ini akan segera berakhir, dan penggantinya belum dipastikan siapa.

Namun, apabila kita melihat ke belakang, nyatanya krisis ekonomi terakhir yang paling parah terjadi di tahun 1998 dan 2008 bukan terjadi di tahun pemilu. Sementara pada dua pemilu yang lalu, tahun 2004 dan 2009, indeks saham justru naik hingga 44% dan 90%.

Advertisement
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Friderica Widyasari Dewi, mengungkapkan bahwa tren positif ini wajar saja terjadi di tahun pemilu, di mana ada lebih banyak uang yang beredar. Sebab, istilah pesta demokrasi ini memang bisa diartikan secara harfiah. Dalam rangka kampanye caleg atau capres, banyak acara meriah besar dan kecil yang digelar di seluruh pelosok negeri.

Bayangkan, mereka yang bertanding sebagai kandidat harus membeli berbagai atribut kampanye dalam jumlah besar. Kebutuhan untuk spanduk, kaus, sampai pamflet membuat  banyak pemilik percetakan kebanjiran pesanan. Ditambah lagi, pedagang-pedagang kecil juga tak sedikit yang diuntungkan dari acara-acara kampanye yang biasanya didatangi ratusan hingga ribuan orang itu.

“Ketika banyak orang melakukan pembelian dalam jumlah besar atau tingkat konsumsinya meningkat, perputaran uang yang terjadi dalam masyarakat menjadi lebih besar. Meningkatnya daya beli masyarakat ini adalah salah satu indikator positif dari pertumbuhan ekonomi,” ungkap wanita yang akrab dipanggil Kiki ini.


Primarita S. Smita

Foto: Corbis



 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?