Dari kantor Wali Kota Jakarta Selatan, mobil Toyota Avanza, kendaraan dinas LA-1, itu meluncur mulus tanpa hambatan menuju Kantor Kelurahan Lenteng Agung. Mulai dari obrolan ringan, seperti kegemarannya pada lagu-lagu Rihanna, sampai saat harus berhadapan muka dengan ratusan massa yang mengamuk, ia bagikan kepada femina.
Tak Ada Kata Terlambat
“Kalau dilihat dari karier, saya memang lambat, karena sempat tidak berkembang saat masih berkarier di BKKBN,” ujar wanita lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, yang mengawali kariernya di Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulawesi Selatan.
Dari situ, ia kemudian menjadi staf ahli BKKBN DKI Jakarta. “Dari sisi usia, waktu itu saya sudah 43 tahun, sementara jika dilihat dari usia produktif, maka karier seseorang akan mulai melambat ketika memasuki usia di atas 45 tahun. Makanya, begitu ada kesempatan mengembangkan potensi dan kompetensi, saya ingin mencoba,” lanjutnya, tentang keinginannya menjadi seorang lurah.
Pengalaman menjadi Kepala Seksi (Kasi) Sarana dan Prasarana di Kelurahan Senen, Jakarta Pusat, membuat ia belajar banyak tentang permasalahan-permasalahan yang ada di lapisan masyarakat bawah. Ia berguru pada mentornya yang sudah cukup senior, Hermawan, Kasi Kebersihan di Kelurahan Senen yang kini sudah pensiun. Bersama beliau, ia sering meninjau lapangan untuk mendata jalanan rusak, lampu mati, memeriksa MCK, dan apa-apa saja yang menjadi kebutuhan warga. Jadi, jauh sebelum menjadi lurah, Susan sudah gemar blusukan.
Obrolan kami tiba-tiba terhenti oleh suara sapaan dari arah pintu masuk. “Saya mau menghadap Bu Lurah,” ujar pria itu lantang, dengan membuat sikap hormat ala militer. Rupanya, soal pengaduan tentang rencana pemilihan ulang ketua RT yang hanya berselisih satu suara. Sungguh tidak mudah untuk menjadi pihak yang tetap tenang di tengah segala keruwetan permasalahan.
Beruntung, ia memiliki tim pendukung semangat yang baik. Terutama sang suami, R. Daniel Kaunang (44), yang tiap harinya selalu menjadi pendengar setia bagi segala keluh kesah yang meluncur dari mulutnya sejak pertama membuka pintu rumah. Ia bukannya tidak paham pada nasihat yang mengatakan: ‘jangan membawa masalah kantor pulang ke rumah’, tapi ini adalah cara agar otaknya tidak meledak.
Begitu juga putrinya, Claudia Gabriel Kaunang (18). Ketika melihat ibunya sedang diberati oleh pikiran, ia akan mengajak Susan untuk berkaraoke berdua. Di saat seperti inilah Susan bisa membebaskan diri, jejingkrakan berdua putrinya, menyanyikan lagu-lagu hits, seperti lagu-lagu Rihanna, Noah, dan Andra And The Backbone, musikus kegemarannya. Kalau tidak, Susan akan menghibur diri, menikmati manicure-pedicure di salon, atau pijat ke sinse langganan untuk meredakan otot dan saraf yang tegang.
Maklum, pada waktu itu, memiliki pimpinan seperti Gubernur Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang hobi blusukan hingga malam hari, otomatis ia harus selalu siaga di kantor kelurahan. “Takut disamperin,” ujar Lurah Susan, tergelak. Namun, ketika duo pemimpin Jakarta itu datang menilik kantornya, Susan justru tidak sedang berada di tempat.
Antara shock dan senang, ia menerima kabar per telepon tentang pujian Ahok yang disampaikan kepada salah satu kasi kelurahan. “Bu Lurah bagus pelayanannya!”
Pada waktu itu ia memang sedang mengikuti pelatihan tentang mindset untuk menyelaraskan visi misinya sebagai seorang pemimpin.
Program pelatihan ini penting sebagai salah satu bentuk akselerasi terhadap perannya yang baru sebagai pimpinan. Sebab, untuk naik ke posisi lurah, sebenarnya ia harus melewati dua tahap, yaitu sekretaris lurah dan wakil lurah. “Dulu, kalau bukan lulusan sekolah Pamong Praja, tidak bisa. Tapi, dengan adanya mekanisme ini, kesempatan jadi terbuka,” ujarnya, senang.
Awalnya ia sempat ragu. Ia tahu bahwa menjadi lurah artinya ia tidak punya hari libur. Lucunya, Claudialah yang getol menyemangatinya. Di masa terakhir pendaftaran, melihat ibunya malas-malasan, putrinya itu langsung membuka laptop untuk membantu mengisikan data diri dan mengirimkan lamaran melalui sistem online.
Ketika mendiskusikan hal ini dengan sang suami, dengan lugas Susan berujar bahwa sekali ia mengikuti seleksi ini, maka ia tidak akan bisa mundur lagi. “Saya tidak mau ribut-ribut di kemudian hari karena pasangan tidak siap dengan aktivitas lurah yang tidak punya jam kerja. Tiap dibutuhkan, saya harus bisa dijangkau warga,” ujar Lurah Susan, yang memutuskan terus maju atas dukungan penuh dari sang suami.
Sayangnya, ia merasa pencapaiannya ini tidak lengkap karena ketidakhadiran sang ayah. Sejak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu menjelang Natal akibat gagal ginjal, ia memang sulit keluar dari rasa duka. Maklum, sebagai sulung dari empat bersaudara, ia memang satu-satunya anak perempuan kesayangan sang ayah. “Ada sedikit penyesalan bahwa Papa tidak bisa melihat pencapaian saya saat ini,” ujarnya, sedih.
Meski kabut kedukaan itu berangsur mulai menipis, atmosfer blue Christmas masih meronai Natal-nya. Ia ingat betul, Natal pertamanya di tahun 2013 harus ia rayakan tanpa kehadiran keluarga. “Baru kali itu saya menghabiskan malam Natal tanpa keluarga. Antara sedih dan bahagia, karena Tuhan memberikan keluarga baru, yaitu warga Lenteng Agung, bagi saya,” ujarnya saat itu, di depan jemaat gereja.
Bagaimana dengan Natal tahun ini? “Jaga wilayah saja, karena memang tidak bisa cuti. Tapi, seperti tahun sebelumnya, saya bersyukur masih bisa mengikuti kebaktian malam Natal bersama warga di salah satu gereja di Lenteng Agung. Ada satu gereja yang belum saya kunjungi,” ujar abdi rakyat ini, mengulas senyum.(Naomi Jayalaksana)