Foto: 123RF
Mungkin bukan Anda. Namun, sepupu, saudara jauh atau teman Anda, ada yang masih tinggal dengan orang tua mereka, meski sudah menikah. Atau, mereka sedikit-sedikit minta bantuan orang tua untuk urusan rumah tangga.
Padahal, bukan berarti mereka tidak mampu secara finansial. Penghasilan mereka tinggi. Menggaji asisten rumah tangga, sopir, atau baby sitter bukan masalah, bahkan ada yang sudah punya rumah segala. Lalu, mengapa mereka memilih tinggal bersama orang tua?
“Setelah menikah, mertua meminta saya tinggal di rumah mereka. Alasannya, mereka sudah tua, sudah berusia 60-an. Mereka ingin anak lelakinya bisa menjaga rumah dan mengurus mereka,” jelas Siska Oktavia (29).
Siska tidak keberatan, apalagi dulu waktu menikah ia masih berusia 24 tahun, dan tinggal sendiri di Jakarta sebagai anak kos. Kedua mertuanya pun bisa menjadi obat kangen dan pengganti orang tua Siska yang tinggal di Palembang. “Saya jadi enggak kesepian,” tambahnya.
Lain lagi dengan Lina Aswita (25). “Meski belum mapan secara finansial, setelah menikah, kami berdua sepakat memisahkan diri dari orang tua karena ingin mandiri. Kami pun mencicil rumah di Bekasi yang tak jauh dari rumah orang tua saya maupun orang tua suami,” cerita Lina. Mengapa memilih lokasi yang berdekatan, karena Lina mengaku tetap membutuhkan ‘campur tangan’ orang tuanya.
Pada dasarnya, ada tiga pilihan tempat tinggal untuk pasangan baru menikah. “Jika mau tinggal dengan orang tua, yaitu tinggal dengan orang tua pihak istri (uxorilokal), atau tinggal dengan orang tua suami (virilokal), atau bisa pilih di keluarga suami atau istri (bilokal),” jelas Ida.
Secara sosiokultural, pola tinggal dipengaruhi oleh tuntutan budaya. Namun, keluarga muda di perkotaan memiliki kecenderungan mengikuti adat utrolokal, yaitu bebas memutuskan ingin tinggal di dekat keluarga suami atau istri, dan membentuk sendiri keluarga intinya.
Meski begitu, Ida melihat, pilihan tempat tinggal untuk keluarga muda perkotaan tampaknya terkait atau dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Misalnya, lokasi kerja suami dan istri, besar pendapatan atau kondisi ekonomi, hingga keberadaan orang tua atau kerabat di kota atau area yang sama.
Nessi Purnomo, psikolog, menambahkan, “Sebetulnya supaya simpel saja. Kalau punya rumah sendiri, kan harus mengatur semuanya sendiri. Kalau ikut orang tua, gampang. Tidak harus ikut memikirkan masalah yang detail, seperti rumah bocor, menyiapkan makanan tiap hari, atau kalau sudah punya anak, ada eyang yang siap menjaga cucunya.”
Tidak dipungkiri, hal ini terjadi karena pihak orang tua pasangan muda yang masih penuh ‘perjuangan’ justru yang menawarkan. Daripada cucu mereka sendirian di tangan pengasuh anak yang belum dikenal baik ketika kedua oran tuanya bekerja, kan lebih baik ada eyang yang mengawasi.
“Memang bukan berarti semua pengasuh anak tidak bisa dipercaya. Namun, jujur saja, banyak juga yang bekerja hanya memikirkan uang, tak peduli pada anak yang diasuhnya, sehingga bekerja pun asal-asalan,” kata Nessi, prihatin. (f)