Foto: Dok. Pribadi, 123RF
Terkadang kita merasa iri melihat teman yang sering berpindah tempat tinggal dari satu kota ke kota lain atau dari satu negara ke negara lain. Hidup nomaden terkesan menyenangkan karena kita jadi bisa mengeksplorasi tempat dan belajar budaya baru. Bagi sebagian orang yang cepat bosan tinggal di satu tempat, mungkin juga sangat menginginkan hidup nomaden. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi sahabat femina berikut ini. Mereka punya kisah sendiri tentang perjuangan mempertahankan hubungan, meski harus berpindah-pindah.
Rachel Goddard, 30, Youtuber, Jakarta
Berusaha Kreatif untuk Membunuh Rasa Bosan
Setelah menikah dengan Ben Goddard (30) pada tahun 2012 di Bali, dua tahun kemudian kami berdua memutuskan untuk pindah ke Inggris, tempat keluarga Ben berkumpul. Tinggal di Kota Swindon yang berjarak satu jam dari London tak sampai satu tahun, karena ternyata Ben mendapatkan tawaran untuk menjadi guru bahasa Inggris di Kazakhstan.
Keputusan saya dan Ben saat itu tidaklah mudah, karena kami harus jauh dari keluarga dan tinggal di negara yang belum ada dalam bayangan kami. Saat itu Ben langsung bertolak ke Kazakhstan dan saya pulang ke Indonesia dahulu untuk mengurus visa. Akhirnya, kami pun menetap di sebuah kota kecil bernama Taraz.
Ketika makanan di sana tidak cocok dengan lidah dan mau pesan makanan saja saya tidak mengerti bahasanya, rasanya ingin pulang. Jujur saja, selama tiga bulan tersebut saya hampir tiap hari menangis. Ben juga bingung melihat saya yang biasanya ceria tiba-tiba terus-menerus murung dan meneteskan air mata. Ben sempat mengatakan akan berhenti dari pekerjaannya agar kami bisa kembali ke Indonesia, tetapi saya memutuskan untuk mengalah dan berusaha bertahan.
Dipikir-pikir, jika saya terus larut dalam kesedihan, saya bisa gila dan menambah beban pikiran Ben. Berbekal keahlian dari pekerjaan saya sebelumnya sebagai make up artist, akhirnya saya terpikir untuk membuat video tutorial belajar make up. Beruntung, aktivitas baru membuat dan mengedit video ini berhasil mengurangi culture shock saya setelah pindah ke Kazakhstan.
Dukungan Ben terhadap kegiatan saya ini sangat besar. Karena perangkat yang saya gunakan kurang mendukung untuk membuat video, Ben membelikan saya perangkat baru yang lebih canggih. Channel YouTube yang saya buat tahun 2015 pun mulai dilirik orang. Membalas komentar teman-teman di dunia maya pun turut membuat saya lupa pada stres yang sebelumnya melanda.
Untuk mengobati rasa rindu pada makanan Indonesia, saya yang gemar masakan pedas sengaja pulang ke Indonesia hanya untuk membeli bubuk cabai. Terkadang, kalau tidak sempat pulang, saya titip kepada adik untuk dibawakan bumbu dan bubuk cabai tersebut. Jadi, saya tetap bisa memasak dan menyantap masakan Indonesia.
Berencana memiliki anak, kami menunggu saat yang tepat, yakni ketika Ben sudah tidak perlu berpindah tempat lagi dan kami tinggal di negara yang layak untuk membesarkan anak kami. Untunglah akhir Juli nanti kami akan menetap di Guangzhou, Cina. Saat ini saya sedang mempersiapkan visa untuk menetap di Cina dan belum tahu sampai kapan kami akan menetap di sana. (f)
Topic
#andadandia