Penyebaran virus Zika yang banyak terjadi di wilayah Amerika Selatan sedikit banyak membuat penduduk di belahan dunia lain panik. Dari Oktober 2015 hingga Januari 2016, ditemukan hampir 4.000 kasus bayi berkepala lebih kecil dari normal atau microcephaly di Brasil. Sebelumnya, di sana hanya ditemukan 150 kasus per tahunnya. Sampai saat ini, tercatat sebanyak 28 negara sudah terjangkit virus Zika.
Di Polinesia, kasus kondisi neurologis atau gangguan saraf bernama guillame-barre syndrom yang bisa berujung pada kelumpuhan, juga meningkat di area yang terinfeksi virus. Senin lalu (1/2), WHO akhirnya menetapkan berjangkitnya virus Zika ini sebagai darurat kesehatan publik yang memerlukan perhatian internasional, terutama karena kecepatan penyebaran virus tersebut.
Hingga kini belum ditemukan hubungan pasti antara virus Zika yang diderita ibu hamil dan janinnya. Namun negara-negara Amerika Selatan sudah mewanti-wanti penduduk wanitanya untuk tidak hamil hingga tahun 2018. Meski masuk akal, banyak pihak yang menganggap imbauan ini sulit untuk diterapkan sepenuhnya. Pasalnya, wanita di negara-negara Amerika Selatan banyak yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak memiliki akses terhadap alat-alat kontrasepsi.
Virus yang pertama kali ditemukan 70 tahun lalu di Hutan Zika, Uganda, ini dibawa (vektor) oleh nyamuk Aedes aegypti yang aktif di siang hari. Mereka yang digigit mengalami gejala mirip demam berdarah dan cikungunya. Namun, menurut dr. Kartono Mohammad, penyakit yang disebabkan virus umumnya memang memiliki gejala awal yang mirip, seperti demam, pusing, sendi-sendi yang sakit, dan sebagainya. Yang membedakan adalah yang terjadi selanjutnya.
Microcephaly bisa terjadi karena virus Zika mengganggu pertumbuhan janin sehingga menimbulkan kecacatan. Menurut dr. Kartono, orang dewasa umumnya lebih kuat terhadap virus ini dan jarang menimbulkan kematian apabila ditangani secara tepat. “Belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus. Maka dari itu, yang diobati adalah gejala-gejalanya saja,” katanya.
Ketika berita ini diturunkan, baru ada satu kasus virus Zika yang ditemukan di Indonesia, yaitu pada seorang pria berusia 27 tahun yang belum pernah keluar negeri. Menurut peneliti Eijkman Institute for Molecular Biology dikutip oleh Rappler Indonesia, dari 103 spesimen yang ternyata bukan dengue, 1 ternyata positif Zika.
Meski begitu, dr. Kartono ingin mengimbau pada masyarakat untuk tidak terlalu panik. Sebab, berbeda dengan virus yang penyebarannya melalui udara, seperti cacar, virus Zika sudah jelas disebarkan oleh nyamuk.
“Karena itu, pencegahannya tentu lebih mudah, yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan 3M, yaitu mengubur, menguras, dan menutup tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang atau tempat nyamuk bertelur,” tutupnya. (f)
Topic
#VirusZika