ilustrasi: tania.
Malamnya, umumnya keluarga yang berduka menggelar acara tahlilan bersama. Ini pengalaman pertama saya mengikuti tahlilan di luar daerah asal tempat saya, dan di sini awal cerita menggelikan itu terjadi. Hari pertama tahlilan kami – ibu mertua dan saya, datang terlambat, suasana di tempat duka sudah penuh sesak.
Konsekuensi dari orang yang terlambat tentu saja kami harus menyalami semua yang hadir terlebih dahulu. Itu artinya kami harus terus membungkukkan punggung dan menunduk sambil menyalami satu persatu dari ujung sini hingga ujung sana. Lumayan…
Sebelum acara dimulai perhatian saya tertuju pada beberapa ember kecil berisi kerikil yang diletakkan ditengah-tengah tempat kami duduk. Para ibu dengan cekatan mengambil satu genggam kerikil secara bergantian kemudian meletakkannya di depan tempat duduk mereka masingmasing. Sejenak mengamati apa yang terjadi sampai tiba giliran saya untuk mengambil kerikil di dalam ember, tanpa tahu maksud dan tujuannya saya pun mengikuti mereka dan mengambil segenggam kerikil kemudian saya letakkan di depan tempat duduk ibu mertua saya.
Tak berapa lama, acara tahlilan pun dimulai. Dipandu oleh pak Kiai dengan lantang dan khidmat beliau memimpin pembacaan tahlil yang diikuti serentak oleh seluruh jamaah yang hadir. Saya mengikuti dengan serius doa yang dilafalkan, sambil sesekali berpikir apa sebenarnya kegunaan batu kerikil yang barusan kami ambil.
Sayup- sayup saya mulai mendengar para jamaah melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan kerikil masing-masing di tangan. Saya pasang kuping lebar-lebar mencoba menangkap setiap potongan ayat yang dibaca dan saya menyimpulkan bahwa mereka membaca surat al-ikhlas yang dibaca berulang-ulang. Melihat pemandangan demikian, dengan senyum percaya diri kemudian saya mulai mengikuti membaca demikian. Lima belas menit berlalu, pak Kiai menutup acara dengan bacaan doa, Aaahh…akhirnya kekikukan saya berakhir juga.
Di sini saya bukan bertambah paham, malah bertambah bingung. Apalagi setelah seorang tetangga yang duduknya bersebelahan dengan ibu mertua meminta batu kerikil kepunyaan saya. Duuhh… makin kelabakan deh saya. Syukurlah ibu mertua ‘menyelamatkan’ saya dengan berkata bahwa batu kerikilnya sudah ikut terkumpul di depan.
Sepulangnya kami dari tahlilan, di rumah saya sungguh tidak tahan lagi memendam keingintahuan saya dan langsung bertanya kepada ibu mertua. Ibu menjawab sambil diselingi tawa. Duuh. Ibu malah bikin gemes deh.
Dan kalimat yang keluar dari mulut ibu benar-benar berhasil membuat muka saya merah padam karena malu.“ kerikil itu tanda doa kita, setiap kerikil berukuran kecil mewakili satu doa yaitu satu bacaan surat Al-Ikhlas begitupun dengan kerikil besar artinya kandungan doa dalam setiap ukuran batu berbeda sesuai jumlah isi surat al-ikhlas yang dibaca. Jika sudah terkumpul sepuluh ribu kerikil besar maupun kecil, kami percaya akan dapat menolong orang meninggal yang kami doa kan.”
Alammaakkk…jadi begitu ceritanya. Adat istiadat memang sangat beragam. (f)
Kirimkan Gado-Gado Anda maksimal tulisan sepanjang tiga halaman folio, ketik 2 spasi.
Nama tokoh dan tempat kejadian boleh fiktif. Kirim melalui e-mail: kontak@femina.co.id atau pos, tuliskan di kiri atas amplop: Gado-Gado
Topic
#fiksi, #gadodago