Foto: Shutterstock
“Jangan kau ganggu makhluk-makhluk cantik itu, Joost Woehler!”
Jadi kau mencintai Winter1?
Tidak. Aku menyukainya, tapi tidak mencintainya. Aku suka bila putihnya salju yang datang ringan, seperti adonan tepung yang dituangkan saja layaknya. Jika begitu, aku masih bisa bahkan dengan Godje bermain di pekarangan. Tapi, bila yang datang terlalu lebat atau bahkan bersama hujan, tiba di tanah menjadi becek dan jorok. Bukan hanya harus berpakaian rangkap, tapi juga harus mengorek salju atau membubuhinya dengan garam supaya mencair dan kau bisa berjalan.
Ceritakan tentang musim semi. Saat itukah kau jatuh cinta?
Kau banyak baca novel, ya? Fruehling2 itu indah, benar. Musim favorit juga buat jalan-jalan dengan suhu yang adem. Bunga-bunga bermunculan begitu saja dari dalam tanah, entah dari mana saja datangnya. Pohon-pohon mulai menampakkan hijaunya, pelan-pelan. Layaknya baru tumbuh lagi. Menjelang April, Frauke biasanya sudah sibuk membeli tanah. Mulanya aku kaget ketika suatu pagi dia memindahkan Godje dari gendongannya padaku. Mau beli tanah, pamitnya. Aku heran, sekaya apa dia masih pagi-pagi begini mau beli tanah? Menjelang siang, ketika aku menyiapkan meja untuk makan, Frauke datang dengan tanahnya.
Ada lima enam karung kurasa dan kata dia itu adalah pupuk organik terbaik yang dibelinya dari Bremen. Stephan datang menurunkannya dari bagasi dan mengomel mengapa Frauke lupa membeli pesanannya, sekarung pupuk yang dicampur dengan kencing sapi atau domba atau apa itu, aku lupa.
Rupanya, tanah yang dia maksud adalah pupuk.
Ah, kalau begitu musim panas pasti favoritmu, bersahabat untuk hidungmu yang rentan mimisan?
Sommer3 memang seperti dongeng-dongeng. Mekar di mana-mana. Cerah sampai gelap tak berkuasa sebelum sepuluh malam. Gulita cuma betah di pukul empat pagi. Selebihnya? Terang!
Apel-apel berbuah sampai menyentuh tanah. Femke dan Joost berebutan mengumpulkannya dan memberikannya kepada empat kelinci gendut nan malas itu. Frauke melumatkan apel-apel di blender dan jusnya dipakai mencuci wajah.
Aku dan Godje memilah belanjaan. Memasukkan bahan makanan kering ke gudang, yang segar ke kulkas, dan yaa… Frauke tetap membeli apel, walau empat pohonnya di pekarangan kami berbuah lebat.
Kalau Oma datang di akhir pekan, itu artinya kami semua ramai-ramai mengumpulkan strawberry, ceri hitam, dan buah-buah beri lainnya yang aku tidak tahu apa itu bahasa Indonesia-nya. Oma selalu bangga dengan selai-selai buatannya sendiri yang menurutku sangat asam itu. Pernah aku susah payah menerangkan selai srikaya yang jauh lebih enak kepada Godje. Tapi, karena selaiku itu tidak ada di depan mata dan cuma omongan belaka, maka Godje hanya melambaikan tangan tanda tak percaya. Ia kembali menyendoki selai strawberry langsung dari botolnya dengan telunjuk dan memasukkannya ke mulut. Lekker4!
******
Aku tak percaya. Jadi di musim gugurkah kau jatuh cinta?
Pohon-pohon seperti mati saja. Gundul, semua daun sembunyi. Angin menampar-nampar pipi, kau harus makan banyak kalau tidak mau dibawa terbang olehnya. Jalanan penuh daun-daun cokelat, hampir setinggi mata kakimu di pekarangan kami. Joost dan Stephan menyalakan penyedot daun dan wuussh... semua sampah itu tersedot. Aku sudah sempat bingung siapa tahu bakal disuruh membersihkan halaman seluas itu pakai sapu lidi atau pakai garpu penggaruk.
Dalam cuaca seperti itu, dingin-dingin empuk adalah saat yang tepat menyeduh kopi dan menyesapnya pelan-pelan, di kursi goyang di beranda. Sayangnya, kami tidak punya beranda, dan tidak ada kursi goyang. Maka, kopi biasanya kunikmati di loteng.
Suasana seperti itu memang menghadirkan kemurungan. Orang-orang mendadak mengalami perubahan suasana hati. Di mana-mana orang berjalan cepat-cepat, menundukkan kepala, menjepit kerah jaket dan… murung. Itulah mungkin kata yang tepat menggambarkan herbst5.
Tapi, buatku musim gugur adalah saat yang tepat memanjakan diri. Dalam kemurungan, aku lebih cepat berpikir. Lebih cepat bereaksi. Terbalik dengan kebanyakan.
Dalam kemurungan seperti itu, jika tugas-tugas selesai biasanya aku memilih berkurung di kamar dan menyusup di balik selimut yang baru kering. Ah, wanginya itu… masih bisa kuingat. Segar.
Menyalakan TV, saluran Super Nanny selalu jadi favoritku, referensi untuk mengumpulkan amunisi menghadapi dunianya Femke, Joost, dan Godje. Kalau tidak, biasanya aku mengerjakan tugas-tugas dari kursus bahasa, yang kebanyakan tak siap sebab aku sudah keburu tidur.
Saat-saat seperti itulah aku jatuh cinta. Saat bisa relaks dan lekas tidur. Kau kan tahu bagaimana susahnya aku terlelap.
Sekarang ceritakan duniamu. Bagaimana rasanya hidup di dunia tanpa musim?
Wah… di duniaku tidak ada musim yang berganti. Tidak ada pemandangan alam yang berputar teratur begitu.
Seperti yang kau tahu, aku terlahir tidak sempurna. Cacat ini tidak terus- menerus mengganggu, kadang-kadang aku bisa mendengar, tapi kadang-kadang itu dalam sehari mungkin cuma beberapa jam saja.
Kalau untuk berbicara, aku sering jadi gagap. Maksudku, aku berbicara itu lebih sering pakai tangan, bukan mulut. Ya… ya... seperti itu bahasa isyarat. Dan ini, mataku juling sebelah, aku sering jatuh kalau berjalan cepat, makanya aku dari tadi menyuruhmu berhenti ketika kita menyusuri taman itu. Aku sering melihat dunia ini menjadi seperti dua.
Kesepian? Sangat! Entahlah apa kau bisa membayangkan sebuah dunia seperti duniaku. Aku ingin sekali mendengar suara Godje-mu. Apa bahasa Jerman itu terdengar merdu di telinga?
Aku juga ingin belajar bahasa asing. Aku suka bahasa isyarat, tapi aku tidak mencintainya. Makanya, aku senang akan mulai belajar bahasa Jerman kepadamu.
Bahasa isyaratmu teramat bagus. Aku tak menyangka ijazahmu adalah diploma bahasa isyarat.
*****
Topic
#cerpen, #fiksi, #ceritapendek