Fiction
Cerber: Ayah [4]

16 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Waktu yang berlalu tak mengubah rumah besar ini. Halaman rumah masih dipenuhi warna-warni bunga mawar berseling dengan melati. Harumnya menebar hingga beranda. Dulu, tukang kebun kami sangat sabar merawat bunga kesayanganku itu. Di ujung halaman ada kolam ikan hias. Kalau itu kegemaran almarhumah Ibu. Beliau sangat telaten merawat ikan-ikan itu. Bahkan, pernah menangis ketika salah satu ikan hias kesayangannya mati. Aku mendesah. Kembali ke rumah ini seperti menje­nguk masa lampau yang manis, namun perlahan-lahan berubah menjadi pahit dan menyakitkan.

“Kenapa termangu saja di situ, Ras? Masuklah!”

Aku terenyak dari lamunan. Seperti orang asing, kuikuti langkah Bagas masuk ke dalam rumah. Melewati beranda yang sejuk aku berhenti sejenak. Di beranda ini, dulu Ayah membacakan beratus-ratus kisah dongeng untukku. Kami juga sering bermain ular tangga dan monopoli berdua, sambil menunggu Ibu selesai memasak. Bahkan, ulang tahunku selalu dirayakan di sini. Apakah Ayah masih mengingat hari ulang tahunku? Buru-buru kutindas perasaan melankolis itu. Memangnya siapa aku ini sehingga Ayah harus mengingat hari ulang tahunku? Lagi pula, sekarang Ayah sedang sakit.

“Laras!”

Untuk kedua kalinya aku terenyak dari lamunan. Seorang pria tua yang mengenakan piama dan sandal kamar, menghampiriku. Tangan menenteng surat kabar. Ia tampak kokoh dan bahagia, seperti enam tahun lalu, saat aku wisuda sarjana. Bagaimana mung­kin Bagas mengatakan Ayah sakit?

Sejenak kutatap mata di balik kacamata baca itu lekat-lekat. Ada kerinduan yang berbinar di sana. Ia tersenyum, sambil membuka tangannya lebar-lebar. Aku masuk ke dalam rangkuman kedua tangan tua itu dan merasakan kenyamanan yang telah sangat lama kurindukan. Untuk beberapa saat aku terlena. Seperti kembali ke masa kecil, saat Ayah mendekapku karena takut pada gelap.

“Rasanya, sudah berabad-abad Ayah tidak memelukmu seperti ini,” katanya, sambil mengusap air matanya yang jatuh. “Bagaimana keadaanmu, Pipi Merah?”

“Seharusnya, aku yang menanyakan keadaan Ayah. Bukankah Ayah sedang sakit?”

Ia tersenyum.

“Ayah baik-baik saja,” katanya, sambil mengajakku duduk.

Bagas menghilang ke dalam, seperti sengaja memberi kesempata­n kepada aku dan Ayah untuk bicara.

“Ayah senang kau datang ke rumah.”

Mendadak dadaku sesak oleh perasaan bersalah karena selama ini menjauhi Ayah. Tapi, bukankah memang posisiku yang meng­haruskan begitu? Aku mencoba menghilangkan perasaan bersalah itu dengan bersikap biasa-biasa saja.

“Aku ingin melihat keadaan Ayah. Bagas bilang Ayah sakit. Benar begitu, Ayah? Sakit apa?”

“Bagas pasti membohongimu. Ayah baik-baik saja! Lihatlah! Bagaimana ia bisa mengatakan Ayah sakit? Ayah kan masih gagah.” Ayah mengangkat lengannya, menirukan gaya seorang binaragawan, sambil terkekeh-kekeh. “Yang jelas, Ayah sangat merin­dukanmu. Juga mamamu.”

“Ia ada di rumah?”

Ayah berteriak memanggil Tante Erna dan aku terlambat mencegah. Suara langkah dari dalam rumah terdengar mendekati beranda. Aku membuang pandang ke arah bunga mawar di halaman. Dari sudut mataku kulihat wanita paruh baya itu mengenakan kimono merah. Terlihat lebih gemuk dan tua.

“Hai, Laras! Apa kabar?” Ia membentangkan tangan, seperti hendak menyuruh aku masuk dalam pelukannya. Namun, aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

“Tumben datang ke sini. Kami kira kau tak akan pernah mau datang,” tembaknya, membuatku jengah.

Aku seperti memasuki tempat yang salah. Tempat yang tak seharusnya kumasuki. Tempat yang bukan hakku.

“Bagas bilang Ayah sakit.” Mataku mencari-cari Bagas yang menghilang. “Karena itu, aku datang untuk menjenguk Ayah.”

“Ayah sakit hati karena kau tak mau datang ke rumah, setelah kabur begitu saja. Seperti kacang lupa pada kulitnya.”

Tante Erna tertawa nyaring. Sepertinya, kata-kata yang melukai hatiku itu baginya hanya sebuah gurauan.

Aku meremas tisu untuk menahan kemarahan yang mulai mengalir di setiap pembuluh darahku. Seenaknya saja wanita itu bilang seperti itu di depan Ayah. Padahal, di belakang Ayah, dia memintaku untuk tidak datang lagi ke rumah ini dan meninggalkan semuanya. Itu karena aku bukan anak kandung Ayah. Rupanya, Bagas sengaja membawaku ke sini untuk dijadikan mangsa empuk mamanya, wanita bermuka dua itu.

“Bagaimana pekerjaanmu, Laras?” Ayah mengalihkan pembicaraan.

“Baik-baik saja, Ayah. Usaha Ayah bagaimana?”

“Usaha ayahmu makin maju. Bagas juga menanam saham di sana, meskipun ia mengundurkan diri sebagai karyawan,” sahut Tante Erna.

Aku tak menghiraukannya.

“Kau tak tertarik bergabung dengan perusahaan Ayah, Laras?” Ayah bertanya dengan antusias.

“Aku sudah cocok bekerja di kantorku sekarang. Sesuai dengan ilmuku.”

Kulirik bibir Tante Erna yang menyungging senyum.

“Masih tinggal di rumah kos?” tanya Ayah lagi.

Aku menggeleng. Sepertinya, Bagas tidak bercerita banyak tentangku, meski ia tahu segalanya. Bahkan, Ayah tidak tahu kepergianku ke Boston.

“Tinggal di rumah petak?” sahut Tante Erna. Wanita itu seperti sengaja ingin menekanku di depan Ayah. Lagi-lagi, aku menggeleng.

“Aku membeli sebuah apartemen di pinggiran kota, Ayah.”

Seperti mendapat angin segar, Tante Erna langsung menyambar kata-kataku. “Wow! Apartemen? Tentu pria bebas keluar-masuk, bukan? Biasanya, wanita lajang yang tinggal di apartemen itu….”

“Banyak wanita Indonesia yang masih menjaga adat ketimur­annya, meski tinggal di apartemen. Tidak seluruhnya sama, Tante!” potongku, penuh tekanan pada kata ‘Tante’.

Aku terkejut sendiri mendengar kata-kataku. Begitu pula Tante Erna. Dengan terang-terangan aku menyebut ‘Tante’ kepada Tante Erna di depan Ayah. Sejak Ayah menikah, aku tidak pernah membuat sebutan untuk wanita itu. Bagiku, teramat mahal untuk menyebutnya Mama, seperti yang diinginkannya. Ia tidak akan pernah bisa menggantikan almarhumah Ibu.

“Aku percaya padamu, Laras,” timpal Ayah.

Sebenarnya, aku tak memerlukan pembelaan Ayah. Aku hanya perlu memaki-maki Bagas karena telah membohongiku. Tapi, ke mana dia? Setelah beberapa menit menunggu Bagas, aku memutuskan untuk berpamitan. Tak ada gunanya aku berlama-lama di sini. Toh, Ayah baik-baik saja.

“Ayah, aku harus pergi. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

“Kau sarapan di sini saja, Laras. Ayah rindu makan bersamamu. Akhir pekan begini tentu mamamu masak enak. Bukan begitu, Ma?” pinta Ayah, dengan tatapan penuh harap.

Aku tersenyum pada Ayah. “Lain waktu kita pasti bisa makan bersama. Ayah tak usah khawatir.”

“Laras sudah terbiasa dengan masakan instan di supermarket apartemen. Dia pasti tidak suka lagi masakan rumah,” kata Tante Erna.

“Aku pulang dulu, Ayah. Semoga Ayah baik-baik saja.”

Aku mencium tangan Ayah dan buru-buru melangkah meninggalkan beranda. Kuabaikan Tante Erna dan kata-katanya.

Sebelum masuk ke mobil, aku mengedarkan pandang mencari Bagas. Tapi, ia benar-benar tidak menampakkan diri. Kalau saja ia menampakkan diri, aku ingin memakinya. Aku tidak suka dibohongi dan dipermainkan seperti ini.
Dan, satu hal lagi, Ayah sudah lupa bahwa hari ini aku berulang tahun. Ah, kenapa aku masih berharap Ayah mengingatnya? Bukankah telah bertahun-tahun sejak aku menjauh, Ayah memang tak mengingatnya? Aku membuang jauh-jauh pikiran tentang Ayah. Perlahan kunyalakan mesin mobil. Kutinggalkan rumah kenangan itu dengan perasaan terluka.


Penulis: Sri Lestari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda? 

https://www.helpforassessment.com/blog/style/ https://www.baconcollision.com/css/ https://seomush.com/ https://radglbl.com/ https://stmatthewscommunityhall.co.uk/vendor/ https://www.bgquiklube.com/style/ https://proton.co.ke/css/ https://www.888removalist.com.au/vendor/ https://quill.co.id/js/ https://aniworld.com.de/css/ https://gmitklasiskupangbarat.or.id/js/ slot gacor สล็อตออนไลน์" เว็บตรงสล็อต MAX33 คาสิโนออนไลน์ MAX33 สล็อตเว็บตรง