Celebrity
Fitriana Nur: Setetes Harapan dari Timur Tengah

24 Mar 2015

Tak banyak wanita Indonesia yang senekat Fitriana Nur (33). Keberaniannya menetap di kawasan Timur Tengah yang temperamental, mengusahakan bantuan kepada tenaga kerja yang terjebak dalam jerat human trafficking, serta membagi pikiran dan kemampuan diplomasi untuk menyelamatkan setetes harapan. Tak banyak orang yang tahu mengenai dedikasinya ini. Namun, itulah yang justru membuat ketulusannya seberharga oase di padang pasir.

Tiap kali terbetik berita tentang TKI dan TKW di luar negeri, hampir tidak pernah terdengar berita gembira. Selalu yang terkuak hanyalah berita pahit, perih, mencekam, membuat perasaan berdebar dan trenyuh. Kisah-kisah tenaga kerja paling tragis muncul dari Timur Tengah, mulai dari eksploitasi kerja tanpa gaji, pelecehan seksual, hingga perlakuan yang mengakibatkan cacat fisik dan mental seumur hidup. Para tenaga kerja Indonesia, terutama wanita, seperti masuk ke arena pertaruhan jiwa raga tanpa ada sedikit pun pertolongan yang siap membantu mereka.
   
Namun, siapa sangka, dari getirnya drama kehidupan di Timur Tengah tersebut, muncul sosok Ana (nama panggilan Fitriana Nur). Ia bekerja untuk International Organization for Migration (IOM), sebagai Regional Project Manager untuk proyek Action to Protect and Assist Vulnerable and Exploited Migrant Workers yang bermarkas di Beirut, Lebanon.
Jabatan Ana mencakup pengawasan di lima negara kawasan MENA (Middle East and North Africa), seperti Yordania, Irak, Lebanon, Mesir, dan Arab Saudi. Rasanya ini sebuah jabatan yang tidak pernah dicita-citakan oleh wanita Indonesia mana pun, jabatan yang sangat pelik, melibatkan kesabaran dan diplomasi di kawasan yang terkenal sangat temperamental.
   
“Memang di kawasan ini gaya hidup perbudakan masih melekat hampir di  tiap orang,” ujar Ana, pada suatu kesempatan wawancara, ketika Ana mudik untuk berlebaran di Indonesia. Menurutnya, kebanyakan warga Timur Tengah memandang wanita pekerja dari negara-negara pengirim tenaga kerja dengan sangat rendah.
“Walau tidak semua berperilaku seperti itu, pada kenyataannya selalu saja kami menemukan laporan eksploitasi, penyiksaan, perampasan hak asasi yang sangat merugikan pekerja,” ujarnya, prihatin.
   
Menurut Ana, salah satu faktor yang sangat membuat nasib wanita pekerja sangat rentan dijadikan korban adalah minimnya ilmu pengetahuan dan kemampuan berbahasa Inggris. Pekerja seperti ini adalah sasaran empuk bagi agen-agen yang memang punya niat memperdagangkan mereka.

Ana pernah membantu pembebasan seorang wanita TKI yang dieksploitasi di Kurdistan. Ketika wanita tersebut berhasil dibawa keluar dari tempat ia bekerja, pihak IOM melakukan interogasi dan menemukan cerita bahwa masa kerja TKI tersebut di Arab Saudi telah usai. Namun, bukannya dikembalikan ke Indonesia, ia malah ditawari bekerja dengan iming-iming yang menggiurkan di Kurdistan. Malangnya, TKI tersebut tidak tahu dan tidak diberi tahu bahwa Kurdistan adalah bagian dari negara Irak yang sedang dalam kecamuk masalah.
   
“Tiap TKI habis masa kerja, agen wajib memulangkan mereka kembali. Namun, agen yang tidak mau rugi membeli tiket penerbangan ke Indonesia lebih memilih merayu TKI untuk terbang ke Yordania yang dekat. Apalagi, pemegang paspor Indonesia bisa masuk Yordania dengan pemberian visa di saat kedatangan,” cetusnya.

Setelah berada di Yordania, barulah para agen memperdagangkan mereka ke negara-negara yang tergolong bermasalah akibat konflik atau perang karena ternyata di negara-negara seperti ini permintaan tenaga kerja cukup tinggi, sementara hukum perlindungan bagi tenaga kerja tidak bisa diandalkan.

“Umumnya, para agen dan pemain perdagangan manusia ini adalah orang-orang yang sangat memahami regulasi-regulasi penting di  tiap negara sehingga mereka pandai memainkan dan mengambil keuntungan. Tentu mereka bukan orang sembarangan. Mereka memiliki back up terselubung, seperti dari militer, pejabat tinggi, dan orang penting yang lihai berkelit dan licin di antara aparat negara yang mau diajak bekerja sama,” ujarnya, geram.
   
Satu hal yang membuat para majikan semena-mena dengan pekerjanya adalah mereka telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk agen pemberi kerja. Biaya penebusan itu akan dipotong dari gaji si pekerja. Sehingga, majikan tidak akan membayar gaji sampai jumlahnya impas dengan uang yang telah ia keluarkan untuk agen. Hal ini tidak pernah diinformasikan sebelumnya kepada pekerja. Sudah menjebak seperti itu, agen pun akan lepas tanggung jawab dengan menghilang dan susah dihubungi.

Ana pernah menemukan kasus seorang TKI yang selama delapan tahun tidak digaji dan tidak boleh keluar rumah. Setelah masa kerja selesai, TKI tersebut diusir dari rumah dalam keadaan sakit. “Dalam banyak kasus di lapangan, karena kita bukan penegak hukum, kemampuan kita dari IOM terbatas pada mengoptimalkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, baik itu pejabat lokal, pemerintahan, maupun kepolisian setempat,” ujar wanita penggemar taboulleh, salad khas Lebanon, ini.

Syahmedi Dean



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?