Family
Tip Mendampingi Anak Menonton Berita Bencana

14 Sep 2016


Foto: Fotosearch


Musim  hujan sudah tiba. Di berbagai daerah, banjir telah melanda. Berita bencana yang menampilkan daerah-daerah yang dilanda musibah silih berganti muncul di teve. Tak terhindarkan, anak-anak pasti ikut menontonnya.

Di layar teve, kita sering menyaksikan pemandangan anak-anak yang sedang tertawa bahagia di tengah genangan banjir. Mereka main ciprat-cipratan air, berenang, bahkan berteriak-teriak gembira. Tapi, ternyata, tak sedikit pula anak-anak yang di kemudian hari menyimpan trauma terhadap banjir.

Menurut Vera Itabiliana, psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan UI, salah satu ciri anak yang mengalami trauma adalah bereaksi berlebihan terhadap sebuah stimulus yang relatif biasa-biasa saja dan dialami banyak orang. Anak yang menyimpan trauma terhadap banjir, misalnya, akan bereaksi ketakutan bila mendengar guntur, melihat hujan deras, bahkan melihat langit mendung. Ciri-ciri lain, perilaku dan kebiasaannya sehari-hari berubah drastis, susah tidur, dan menarik diri dari pergaulan. Bahkan, dalam tahap ekstrem, anak menjadi histeris.

Padahal, Vera menambahkan, pikiran anak-anak yang masih polos serta bersih dari prasangka buruk dan ketakutan, umumnya membuat mereka relatif lebih santai menghadapi setiap kondisi baru. Apalagi bila tetap ada unsur bermain di dalamnya, seperti halnya ketika banjir.

Makin muda usia anak (kurang dari 4 tahun), efek trauma juga makin kecil. Misalnya, bila seorang bayi ditinggal mati ibunya, biasanya ia hanya merasakan kehilangan (baca: rutinitas) sebentar saja. Bila menemukan rutinitas baru (misalnya, ia lalu diasuh oleh neneknya), dengan mudah ia akan menyesuaikan diri.

Makin besar usia anak, biasanya efek trauma makin besar dan hilangnya lebih lama, karena daya nalar dan daya tampung memorinya sudah lebih besar. Bahkan, bila terus dipelihara, trauma itu bisa terus melekat di sepanjang hidupnya.

Lantas, apa yang membuat seorang anak trauma terhadap suatu hal atau benda tertentu? Pertama, karena adanya pengalaman empiris. Misalnya, pada saat banjir, si anak terseret air dan nyaris mati tenggelam. Pada kasus ini, si anak memang perlu mendapat terapi khusus dan serius, serta membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menghilangkannya.

Yang  kedua (dan ini yang lebih sering terjadi), karena dipengaruhi orang-orang di sekitarnya. Dalam kasus banjir, misalnya, orang tua sering kali menunjukkan sikap panik dan takut yang berlebihan di hadapan anaknya. Akibatnya, si anak pun ikut-ikutan trauma terhadap banjir.

Vera lantas mencontohkan sebuah film Italia berjudul Life is Beautiful. Dalam film itu diceritakan bagaimana seorang ayah berupaya mati-matian agar putranya bisa tetap berbahagia di tengah kekejaman kamp konsentrasi Yahudi di zaman Perang Dunia II. Karena itu, “Sikap orang tua akan sangat berpengaruh pada anak. Percayalah, kalau orang tua bersikap tenang, anak juga akan ikut merasa tenang,” jelas Vera.

Baca juga:
Kasus Reza Artamevia dan 3 Cara Menyiapkan Anak Menghadapi Kabar Buruk

Bila anak kadung menyimpan trauma, apa yang harus dilakukan orang tua? Pertama, dampingi anak dengan penuh kasih sayang. Selanjutnya, cari tahu apa yang secara spesifik membuatnya trauma dengan mengajaknya bicara dari hati ke hati. Jangan sekali-kali meremehkan ketakutannya, misalnya dengan mengatakan, “Ah, kamu saja yang penakut.”

Langkah berikutnya, cobalah mengubah mind set anak tentang banjir. Misalnya, dengan menjelaskan penyebab terjadinya banjir, bahwa banjir tidaklah berbahaya bila kita tahu cara mengatasinya, dan bahwa sekarang keadaan sudah aman. Ajaklah anak untuk ikut bersih-bersih rumah pascabanjir. “Kegiatan ini bersifat terapeutik, karena bermakna menata kembali hidup seseorang secara fisik dan mental,” papar Vera. (f)

Tina Savitri


Topic

#Televisi