29 Oct 2013

GAIRAH CATWALK WHULANDARY
Apa kabar Whulandary Herman (22)? Pemenang kedua Pemilihan Wajah Femina 2008 ini belakangan susah sekali ditemui. Jadwal pemotretan dan fashion show keliling Indonesia dan di luar negeri, begitu padat. Begitu ada di Jakarta, sisa waktu Whulan digunakan untuk kuliah, istirahat, dan  fashion show. Ia kini  makin bersinar di dunia yang dulu hanya sekadar iseng dijalaninya. Saat ditemui femina, di apartemennya yang terletak di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, wanita kelahiran Padang, 26 Juni 1988, ini tetap cantik dan memesona dengan balutan celana pendek dan T-shirt. Sambil menikmati camilan favoritnya, ubi rebus dan air kelapa muda, ia mengaku jatuh cinta pada  profesinya sebagai model catwalk. Belum banyak yang tahu, wanita sensual ini diam-diam pergi membawa nama Indonesia di ajang internasional.

 
JATUH CINTA PADA CATWALK
Catwalk baginya tak hanya panggung pertunjukan, tak sekadar berjalan melenggak-lenggok dengan benar dan indah. Lebih dari itu, wanita dengan tinggi/berat 175 cm/50 kg ini mengungkapkan, di panggung itulah ia merasa cantik, percaya diri, dan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Sebuah tempat di mana dia bisa berekspresi dan membentuk karakternya sendiri.

Tak hanya cukup menundukkan dunia catwalk di Indonesia, Whulan terus berusaha untuk menjadi seorang peragawati profesional dan berusaha untuk menembus panggung catwalk internasional. Kesempatan itu terbuka ketika ia terpilih menjadi wakil Indonesia untuk mengikuti ajang Asia Fashion Award, di Hangzhou,  Cina, awal Februari lalu.

Bagaimana Anda lolos dari sekian banyak seleksi?
Sebenarnya ini berhubungan dengan ajang internasional Model of The Year yang saya ikuti di Korea, Oktober 2009 lalu. Di ajang ini saya memenangkan juara pertama Best Catwalk dan juara ketiga Runner Up International Model of The Year. Lalu, penyelenggara ajang ini menyeleksi seluruh model pemenang event internasional. Beruntung, nama saya yang keluar pada saat itu.

Di sana Anda bersaing dengan siapa saja?
Hasil seleksi penyelenggara hanya terjaring 5 peserta. Saya bersaing dengan peserta dari 4 negara lain, yaitu Vietnam, India, Taiwan, dan Cina. Persiapan yang saya lakukan adalah mencari tahu seberat apa keempat saingan saya dan belajar apa yang kira-kira akan saya tonjolkan. Bagi saya, Lin Chien An asal Taiwan adalah saingan terberat. Meski begitu, saya berteman baik dengannya.

Lalu, apa saja yang Anda lakukan di sana?
Di sana acaranya bebas, tidak ada karantina. Menyenangkan, saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dari industri fashion. Saya pernah selama sehari penuh dibuntuti oleh Fashion TV China.

Bagaimana dengan ajang internasional Model of The Year yang Anda ikuti?
Sebenarnya, ketika akan dikirim ke Korea, saya hanya jadi cadangan. Tetapi, karena model yang seharusnya pergi saat itu tiba-tiba batal, akhirnya saya menggantikannya. Tidak ada yang berharap saya akan menang. Dari 58 negara, masuk ke urutan 20 saja sudah bagus. Saya tidak menyangka bisa menang dengan predikat The Best Runway, kemudian masuk tiga besar. Walaupun salah seorang peserta sempat protes karena saya mendapat dua penghargaan, saya berusaha tetap profesional. Ketika nama Indonesia disebut sebagai pemenang, saya spontan menangis bahagia.

Menurut Anda, kenapa Anda bisa menang?
Saat di panggung saya berusaha tampil sesempurna mungkin, menunjukkan karakter yang berbeda, sesuai dengan busana yang saya kenakan. Begitu juga saat sesi foto, saya melakukannya dengan perasaan senang. Meski lelah, saya berusaha untuk tetap selalu tersenyum dan bersosialisasi dengan orang lain. Menurut juri, saya unggul saat performance di catwalk.

Apa kompetisi yang akan Anda ikuti lagi?
Sebenarnya, banyak sekali yang menyarankan untuk ikut pemilihan Puteri Indonesia tahun ini. Tetapi, sampai saat ini saya belum memutuskan. Saya tidak ingin asal mengambil kesempatan, jadi mungkin saya akan mempersiapkan diri lebih matang.

Hingga saat ini, apa yang diperoleh dari dunia modeling?
Saya belajar bersosialisasi dengan orang baru, menambah kepercayaan diri, melatih kesabaran, belajar menerima kritikan, dan tentunya mendapat uang saku lebih (tertawa).

 
MAMA, PENEMU BAKATNYA
Masa kecil dihabiskannya di Padang, Sumatra Barat. Didikan yang kental dengan ajaran adat dan agama, membuat Whulan tumbuh menjadi wanita rendah hati dan selalu bersyukur. Masuknya Whulan ke dunia modeling, mengubah penampilannya. Dulu ia tomboi, jail, dan langganan dimarahi guru. Sekarang, Whulan bisa tampil anggun. Ini tak lepas dari jasa sang mama dan amak (nenek) yang selalu mendukungnya.

Meski tak sadar memiliki bakat di dunia modeling, ia mengaku bukan orang pemalu. Bahkan, bisa dibilang ia terlalu berani. Tidak mengherankan, ketika mama dan neneknya membujuk Whulan untuk ikut ajang pemilihan model di tingkat RT/RW, ia langsung menjawab mau. “Mama bisa membuat saya sukses berjalan di panggung sejak saya masih TK sampai ikut pemilihan model di Bukit Tinggi (1999), yang membawa saya ke Jakarta. Sampai akhirnya saya bisa tampil di panggung besar, menjadi model untuk pergelaran busana Ramli (2002),” kata Whulan. Meski kini ia sudah melanglang buana, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina, ini masih sulit beradaptasi dengan makanan. Whulan masih setia dengan makanan khas daerah asalnya: nasi dari beras yang dibawa dari Padang, lengkap dengan semua lauknya yang 'diimpor' dari Padang. Bahkan, di antara jadwalnya yang padat di berbagai show, ia setia membawa serta rantangnya.

Anda memang terbiasa mandiri?
Sejak kecil saya hidup dengan nenek saya di Padang, sedangkan Mama yang saat itu guru SD, tinggal di Bukit Tinggi. Tidak jauh memang, tetapi cukup membuat saya belajar mengurus diri saya sendiri. Saya diajarkan untuk bekerja keras sebelum mendapatkan keinginan saya. Saya juga selalu memegang pesan Mama: harus menjadi wanita mandiri yang rendah hati.

Kok, masih tidak bisa lepas dari masakan Padang?
Saya memang kesulitan, terutama nasi atau beras dari Padang. Saya tidak bisa makan nasi kecuali yang berasal dari Padang. Sebenarnya, saya tidak ingin dicap merepotkan orang lain. Tetapi, saya pernah mencoba nasi atau makanan lain, saya malah jadi mual dan demam. Jadi, di rumah paling tidak selalu ada beras dan rendang,  yang Mama kirimkan setiap bulan dari Padang.

Bagaimana jika show di luar negeri?
Saya selalu bawa makanan sendiri. Beras dari Padang, rendang, dan cabai rawit, lengkap dengan rice cooker mini. Saya rela masak sendiri, meski model-model lain menikmati makanan yang disediakan. Jadi, tidak heran, koper saya lebih banyak berisi makanan daripada baju.

Tidak takut ditertawakan?
Yah, mau bagaimana lagi. Waktu di Korea, model-model lain tertawa melihat saya memasak. Mereka bilang, pergi ke negara lain merupakan pengalaman yang menyenangkan, sayang jika saya tidak punya pengalaman mencicipi makanan berbeda-beda. Saya sendiri mau mencoba, tetapi tetap tidak bisa. Daripada sakit atau demam, lebih baik saya tidak makan.

Anda juga kesulitan beradaptasi dengan orang baru?
Untungnya tidak. Meski pindah ke Jakarta adalah suatu perubahan besar,  saya tidak pernah kesulitan. Kuncinya, berpikiran terbuka. Tetapi, soal pergaulan, saya tidak berubah. Jika ditanya apakah saya suka ke party atau duduk di kafe berjam-jam,  jawabannya tetap tidak. Saya lebih suka di rumah seharian.

Siapa kekasih Anda?
Setahun belakangan ini, saya sedang dekat dengan pria asing. Dia bukan hanya mendukung saya, tetapi juga membantu saya di bidang modeling. Baru-baru ini ia bersama temannya membuatkan saya sebuah website (http://whulandary.com/) dan sekarang dia sedang gencar-gencarnya mencarikan saya agency model di luar negeri. Ia akan membantu mewujudkan cita-cita saya untuk bisa  menembus panggung catwalk internasional.

Apakah dunia model menjadi perhentian terakhir dalam berkarier?
Tentu tidak. Saya sadar, tidak selamanya saya akan terus berkarier di bidang ini. Saya ingin mencoba belajar berbisnis. Mungkin dari yang kecil dan dekat dengan dunia saya, seperti online shopping.  

 

Afra R. Arumdati