Work from home selama ini identik dengan freelancer atau wirausaha. Namun demikian, beberapa tahun terakhir, work from home juga diadopsi oleh korporasi. Ada yang mengistilahkannya dengan remote worker ataupun telecommuter. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Cisco, istilah yang sedang menjadi tren global sekarang lebih tepat disebut mobile workstyle. Para mobile worker ini bisa bekerja di tempat, waktu, dan cara yang menurutnya nyaman. Bekerja dari rumah adalah salah satu pilihan dalam mobile workstyle.
Mobile workstyle adalah sebuah cara pandang baru yang menekankan bahwa bekerja bisa dilakukan dari mana saja. Tempat kerja tidak lagi terpaku pada kantor. Dari survey tersebut, sebanyak 60 persen responden yang diteliti mengatakan, untuk menjadi produktif, tidak lagi harus di kantor. Sebanyak 38 persen di antaranya mengaku lebih produktif bekerja dari rumah.
Keberadaan smartphone dianggap pemicu terbesarnya. Menurut Forrester, mobile worker di seluruh dunia angkanya naik dari 23% menjadi 29%. Dan, diperkirakan angka ini akan terus naik mengingat prediksi jumlah penggunaan tablet bakal mencapai angka 905 juta tablet hingga tahun 2017.
Fakta ini bukan fenomena negara maju saja. Di Indonesia, geliat yang mengarah pada mobile workstyle juga terjadi. Salah satu contoh, mobile workstyle yang diterapkan oleh IBM Indonesia. Kebijakan flekibilitas kerja yang inisiatifnya datang dari kebijakan IBM global ini sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1998.
Menurut President Director PT IBM Indonesia, Suryo Suwignjo, terkait dengan fleksibililtas kerja ini ada beberapa skema. Pertama, fleksibilitas jam kantor. “Semua orang punya kebutuhan masuk kantor pada jam berbeda. Ada yang lebih senang berangkat pagi, ada juga yang lebih memilih siang. Kami memberikan fleksibilitas, tapi tentunya dalam periode tertentu sebelum pukul 12 siang. Tujuannya, orang-orang yang dibutuhkan bekerja dalam satu tim, tetap bisa ketemu,” ujar President Director PT IBM Indonesia ini.
Kedua, skema kemudahan tidak harus ke kantor. “Ini berlaku untuk posisi tertentu yang harus sering bertemu klien. Kami justru mendorong karyawan di posisi ini untuk menghabiskan waktu di luar kantor. Semakin lama ia berada di lapangan bersama klien, ia akan makin tahu kebutuhan klien, dan imbasnya, makin besar ia mampu menghasilkan revenue,” kata Suryo.
Dalam satu perusahaan, ada berbagai jenis pekerjaan. Di IBM, masing-masing pekerjaan diberi treatment yang berbeda. Kuncinya, menurut Suryo, harus diidentifikasi job tertentu. Job mana yang tidak perlu kerja bersama, tidak memerlukan pengawasan yang signifikan, dan output pekerjaannya bisa terukur, adalah jenis pekerjaan yang lebih mudah dibuat fleksibel.
Agile working yang diterapkan salah satunya adalah fleksibilitas jam kerja. “Secara tertulis, kami menekankan flexible working. Yang utama dituntut dari perusahaan adalah komunikasi. Karyawan harus bisa ditelepon kapan saja,” kata Irma, yang kadangkala memilih bekerja dari kafe, bisa membuatnya lebih produktif. Karyawan sudah diberikan fleksibilitas, mereka juga harus komitmen dan bertanggung jawab untuk bisa dihubungi. Kemudahan untuk bisa dihubungi itu merefleksikan target pekerjaan yang tercapai.
Irma bercerita, pada awalnya, Unilever sempat menerapkan kebijakan work from home tahun 2008, sebagaimana yang sudah mulai diterapkan di luar negeri. Percobaan sempat dilakukan pada beberapa orang terlebih dahulu. Setelah dianggap cukup berhasil, bertambah lagi jumlah karyawan yang melakukan work from home.
Setelah dievaluasi, menurut Irma, ternyata tak semuanya happy dengan kebijakan ini. Ada yang justru lebih tersiksa dengan bekerja dari rumah karena banyak gangguan yang membuat kerja jadi tidak fokus. “Kami lalu memutuskan, tidak bisa membuat kebijakan yang menyamakan apa yang terbaik untuk semua orang. Tahun 2010, kami mengubahnya menjadi agile working. Karyawan diberikan kebebasan sesuai dengan kenyamanan sendiri. Yang dipegang adalah KPI yang jelas. Walaupun fisiknya tidak di kantor, tidak ada masalah, yang penting pekerjaannya beres,” jelas Irma, yang menegaskan, fleksibilitas tidak bisa diberlakukan untuk beberapa jenis pekerjaan spesifik, seperti Customer Service.
Di industri jasa konsultasi, fleksibilitas sangat dimungkinkan. Menurut Phillia Wibowo, partner McKinsey & Company, fleksibilitas itu bisa diambil dalam bentuk part time. Karyawan bisa mengambil opsi bekerja 60% atau 80% saja. “Implementasi flexi time di kantor ini tergantung pada masing-masing orang, kebutuhan tim, dan klien. Saya sendiri, misalnya, mengambil opsi 80 persen. Hanya bekerja 4 hari dalam seminggu,” tutur Phillia.
Phillia mengatakan, sekarang teknologi sudah memungkinkan kita tidak harus bertemu setiap saat, melainkan bisa dilakukan lewat conference call. “Dalam profesi saya, sudah biasa melibatkan klien atau kolega dari luar negeri. Saya pun sudah tak asing dengan Skype atau Facetime. Di kantor, ada investasi untuk fasilitas video conference. Bisa di kantor, bisa juga di set up di rumah. Pernah ada seorang teman yang karena alasan medis dia tidak bisa ke kantor untuk waktu yang cukup lama, ia pun memasang fasilitas video conference. Dengan cara ini, dia bisa tetap bekerja dan diskusi secara face to face,” jelas Phillia.
FICKY YUSRINI
Topic
#EraDigital