Selamat datang di era digital, era di mana semua orang terkoneksi melalui gadget. Reservasi restoran untuk dinner dengan pasangan, cukup lewat aplikasi. Menghadiahi bunga pada istri tinggal klik website florist, kurir segera datang mengirimkan bunga ke kantor istri. Kini, suami-istri tidak lagi pergi ke toko memilih sofa baru. Dari tempat tidur, masing-masing memegang gadget, membuka Pinterest dan saling mengirim foto sofa pilihannya via WhatsApp tanpa ada koneksi fisik.
Gambaran itulah yang dialami pasangan zaman sekarang. Pasangan Romi (32) dan istrinya, Jessica (29), sama-sama bekerja. Tinggal di sub-urban, mereka berangkat bekerja lebih pagi dan pulang lebih malam untuk menghindari kemacetan. Sampai di rumah, ketika makan malam, bukannya ngobrol dengan pasangan, mereka malah asyik mengomentari status teman masing-masing di media sosial. Sampai di tempat tidur pun mereka masih memegang gadget. Hanya selang 6 bulan setelah menikah, Jessica mengetahui suaminya selingkuh dengan wanita lain di Facebook.
“Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi justru mendekatkan mereka yang jauh dan menjauhkan yang dekat,” ujar Devie Rachmawati, S.Sos, M.Hum, Pengamat Sosial dan Pengajar Komunikasi Vokasi Universitas Indonesia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Agnes Dewanti Purnomowardani, M.Si, Psikolog Anak & Keluarga Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta “Orang sekarang lebih tertarik berkomunikasi dengan orang lain melalui gadget. Dalam kehidupan pernikahan, lambat laut berpengaruh pada kualitas pernikahan yang menurun,” ujar psikolog yang akrab disapa Nessi Purnomo ini.
Menurut Nessi, godaan selingkuh di era sekarang jauh lebih mudah dibandingkan beberapa dekade lalu, karena kemajuan teknologi komunikasi. “Sekarang, tinggal buka Facebook, iseng-iseng ngobrol dengan teman lama, ternyata nyambung dan berlanjut. Ini membuka celah untuk terjadinya perselingkuhan,” ujar Nessi.
Nessi menilai, perselingkuhan berawal dari kebutuhan di rumah yang tidak terpenuhi oleh pasangan. Entah kebutuhan bercerita tentang problem sehari-hari, kebutuhan untuk diperhatikan, dicintai, dan lainnya. Karena tidak terpenuhi, mereka mencarinya di luar. “Jika permasalahan ini tidak segera diselesaikan, rumah tangga akan bubar jalan, ada atau tidaknya teknologi,” ungkap Nessi.
Ketua asosiasi itu, Gian Ettore Gassani, mengatakan, “Media sosial mendorong orang Italia lebih mudah berselingkuh, melalui SMS, Facebook, dan WhatsApp, mereka bertukar foto dan kata-kata mesra,” jelasnya. Hal ini dibenarkan oleh Devie. Bahkan menurut Devie, media sosial membuat orang dapat membina hubungan atau berselingkuh dengan 4-5 orang sekaligus.
Sependapat dengan Nessi, Devie menilai media sosial bukan penyebab perceraian. “Media sosial hanya menjadi katalis. Penyebab sesungguhnya adalah kekeringan hubungan antara pasangan tersebut,” ungkapnya.
Di Indonesia, data Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) menyebutkan, angka perceraian di Indonesia tahun 2010-2014, dari 2 juta pasangan menikah, 15%-nya bercerai. Angka perceraian tahun 2014 sebanyak 382.231 kasus, naik 100.000 kasus dibandingkan tahun 2010, yaitu 251.208 kasus.
“Ternyata, penyebab perceraian di urutan pertama bukan semata-mata masalah ekonomi, melainkan ketidakharmonisan. Ini karena tidak adanya bonding emosional dan koneksi fisik antarpasangan,” jelas Devie.
Contoh salah satu penyebabnya, menurut Devie, dalam konteks kota besar adalah kegagalan pemerintah membangun sistem transportasi massal yang memadai. Ini membuat anggota keluarga sekarang harus berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam.
Dengan begitu, hubungan dengan pasangan makin berjarak, dan waktu yang dihabiskan bersama orang-orang di luar rumah lebih banyak dibandingkan pasangannya sendiri. Emotional bonding justru dengan orang lain. Setibanya di rumah, suami-istri sudah lelah. “Ini membuat mereka terisolasi di rumah sendiri, hingga menimbulkan ketidaknyamanan yang memicu perceraian,” ungkap Devie. (f)
Daria Rani Gumulya