Foto: AL
Apa yang membuat Anda tertarik mendalami psikiatri?
“Dulu waktu sedang menjalani ko-as kedokteran, kan, harus menjalani beberapa stase. Ada stase minor dan mayor. Gangguan jiwa termasuk salah satu minor dan saya merasa paling cocok di sini. Dalam arti keilmuannya suka, ada filsafat, psikologi, juga banyak menyangkut spiritual. Luas sekali!
Untuk menangani satu orang dengan gangguan jiwa kita harus melihat ke segala aspek. Berbeda dari pasien yang mau dibedah, saya tidak perlu mendalami sekolahnya apa, asal fisiknya siap untuk dioperasi, tidak ada komplikasi, dan bisa bayar, maka (urusan) selesai.
Selain itu, ada juga anggota keluarga yang bukan immediate family mengalami gangguan jiwa. Saya berpikir bahwa setiap keluarga besar pasti mempunyai potensi anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa—dari ringan sampai berat. Keluarga saya beruntung karena tampaknya sanggup untuk menangani kasus tersebut, tapi bagaimana dengan orang lain yang lain tidak memiliki akses karena keterbatasan fasilitas?
Itu yang memicu kesadaran saya. Memang semua harus berangkat dari self-awereness dulu, kemudian dilengkapi sebuah keyakinan barulah saya mau mempelajari program pendidikan spesialis untuk kedokteran jiwa.”
Apa perbedaan antara 'orang dengan masalah kejiwaan' dengan 'gangguan kejiwaan'?
“Itu bahasa yang digunakan waktu kami menyusun UU Kesehatan Jiwa. Kami berusaha memunculkan terminologi yang bukan deposisi, terminologi yang akan memberikan ruang/hak kesempatan bagi orang ini sehingga bisa masuk dalam kelompok yang bisa diperhatikan oleh pemerintah.
Pada akhirnya 'orang dengan gangguan jiwa' berarti orang yang sudah mengalami berbagai situasi klinis, ada disfungsi, artinya tidak bisa bekerja, bisa juga disertai dengan stres. Sementara untuk 'orang dengan masalah kejiwaan', waktu itu saya membayangkan orang-orang yang memiliki potensi untuk mengalami gangguan jiwa. Faktornya bisa dari berbagai hal, misalnya lingkungan sosial, atau disabilitas yang membuatnya rentan.
“Saya berpikir bahwa Indonesia adalah negara yang rentan bencana. Selama terjadi bencana kita harus berpihak atau memberikan perlindungan kepada penyintas yang ada di lokasi-lokasi bencana. IDP (internally displace people) atau orang-orang yang biasanya terlempar keluar dari rumahnya dan terpaksa tinggal di penampungan. Orang itu diselamatkan dari wilayah asalnya, misalnya Gunung Merapi, ke shelter yang radiusnya aman bencana.”
Saat ini bagaimana sistem hukum yang ada di Indonesia terkait kesehatan jiwa?
“Perkembangannya setelah UU, ada spirit yang muncul di dalam komunitas karena gangguan jiwa bergerak top down dan bottom up. Top down, misalnya kita masih memberlakukan sistem rujukan dari puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), baru ke pinggir Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Mau tidak mau kita berharap provinsi yang tidak punya RSJ, bisa didirikan RSJ.
Namun, seharusnya tidak harus terlalu bergantung pada RSJ. Soalnya pada tahun 1970, ada Basa Giuliano di Italia, sebuah organisasi atau badan yang digerakkan oleh komunitas untuk membantu kasus-kasus kesehatan jiwa. RSJ yang ada digunakan hanya untuk kasus-kasus berat, seperti menangani pelaku pembunuh/pembakar/pemerkosa yang ternyata punya gangguan jiwa. Selebihnya bisa dikelola oleh komunitas.
Komunitas harus diberdayakan sehingga seseorang dengan gangguan kejiwaan tidak perlu merasa terstigma atau menerima diskriminasi dari masyarakat. Bentuk-bentuknya sama seperti Yayasan Galuh di Bekasi dan sudah bolak-balik jadi sorotan. Yayasan tersebut diberdayakan oleh warga tapi butuh arahan dari dinas sosial. Sukarelawan harus mendapatkan pelatihan sehingga tahu mana yang melanggar HAM, mana yang tidak.”
Sejauh apa keterlibatan Anda di Yayasan Galuh?
“Saya senang melihat Yayasan Galuh jadi salah satu model untuk panti rehabilitasi yang tumbuh dari komunitas. UU Kesehatan juga mengatur peran serta masyarakat, tapi itu membutuhkan arahan. Saya menjadikan mereka sebagai contoh best practices saja karena mereka berkembang sendiri menjadi lebih baik.
Pergerakannya lamban karena orang belum paham atau bagaimana?
“Sekarang pemerintah punya jargon ‘revolusi mental’ yang terdapat dalam Nawa Cita sebagai agenda prioritas Jokowi-JK. Selain itu pemerintah juga memberikan kesempatan untuk pembangunan-pembangunan yang belum diprioritaskan sebelumnya. Ini, kan, entry point.
Kalau kesadaran masyarakat hanya sedemikian tidak apa. Tapi bolanya sekarang ada di pemerintah. Pemerintah yang harus selesaikan turunan-turunan UU kesehatan jiwa. Tidak masalah juga kalau masyarakat hanya merasakan manfaatnya tanpa tahu undang-undangnya, itu memang tugas pemerintah untuk mengayomi rakyatnya.”
Ada pengalaman berkesan selama menggeluti dunia kesehatan jiwa ini?
“Saya hanya khawatir, ini jangan sampai menjadi obsesi. Obsesi, kan, pikiran yang terganggu berdasarkan kecemasan dan bikin mood agak turun. Sampai sekarang obsesi itu masih tetap ada. Saya cukup sulit menolak undangan-undangan untuk menjadi pembicara soal kesehatan jiwa. Proyek gratisan, tapi saya terus menerimanya. Ya, dan ada harapan besar dalam revolusi mental."
Apakah menulis jadi pelarian dari pekerjaan?
“Iya, kemarin saya sering menulis buku. Terakhir menulis buku tahun 2015 dan sekarang mau menulis novel, tapi rasanya seperti nggak koheren. Kalau sekarang obsesi satya mau menyelesaikan novel. Tidak boleh berlibur sebelum selesai. Saya sudah menargetkan untuk menyelesaikan novel tahun 2017 ini.”
Gimana dengan karier politik?
“Saya tidak akan berkompetisi lagi, maksudnya entah pilkada atau pemilihan-pemilihan legislatif. Itu melelahkan! Menurut saya tidak ada urgensinya. Dulu saya bela-belain berkompetisi karena ada cost-nya, yaitu untuk UU Kesehatan Jiwa. Kalau sekarang semuanya soal eksekusi dan implementasi. Saat ini saya lebih ke kesehatan jiwa masyarakat (keswamas) dan community mental health.”
Target pribadi?
“April 2017 saya mendapat undangan untuk menjadi salah satu pembicara Woman in The World Summit. Organisasi ini tadinya bergerak di level nasional dan sekarang ingin ke level internasional. Tahun lalu ada Meryl Streep, Mindy Kaling, juga Hillary Clinton sebagai pembicara. Saya harap event ini begitu cair sehingga bisa foto-foto dengan pembicara-pembicara itu. Siapa tahu tahun ini ada Michelle Obama, ha ha ha.
Saya deg-degan soalnya harus ngomong tanpa teks. Temanya tetap kesehatan jiwa, sesuatu yang belum mainstream di Indonesia dan juga di banyak negara lain. Ini salah satu gawean yang paling menarik untuk dipersiapkan.”
Punya pelajaran yang bisa dibagikan kepada sesama wanita?
“Dalam sebuah hubungan, saya melihat banyak wanita yang kehilangan jati dirinya. Banyak wanita yang setelah menikah akhirnya berada dalam kendali pria, makanya ada kekerasan domestik, kekerasan verbal dan psikologis dari pasangan atau pria di sekeliling mereka. Padahal kita sudah ada di zaman emansipasi. Saya mendukung wanita untuk mejadi dirinya sendiri. Meski saat berpasangan, kita memang harus berkompromi. Sama seperti yang dikatakan Hillary Clinton, kesetaraan, tuh, bukan melebihi pria, bukan supremasi perempuan terhadap laki-laki.
Anda lebih senang dikenal sebagai apa?
"3P juga, yaitu psikiater, penulis, dan pengajar. Saya sangat passionate terhadap ketiga hal itu. Saya cenderung mengundurkan diri atau memilih cuti jika mulai merasa lelah, daripada saya tidak total mengerjakannya." (f)
Baca juga:
NORIYU
5 Cara Membentuk Mental Positif Pada Anak
Sehatkah Jiwa Anda? Simak 3 Ciri Jiwa Sehat Ini
Topic
#kesehatanjiwa, #NovaRiyantiYusuf