Di era tersebut, bioskop memang merupakan satu-satunya medium untuk memutar film. Terlebih lagi, di masa itu juga belum ada serbuan film-film asing seperti saat ini. Tak mengherankan bila film Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Salah satu sineas yang berjasa mencetak sejarah membanggakan di dunia film Indonesia adalah Teguh Karya. Para tokoh perfilman Indonesia menjulukinya sebagai sutradara genius yang mahir mengolah ide cerita menjadi film dengan daya tarik tinggi. Beberapa film garapan Teguh, antara lain Ranjang Pengantin (1974), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989), sangat disukai penonton. Bahkan, kepiawaiannya itu berhasil membawanya menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia sebanyak 6 kali!
Atas prestasinya itulah, sutradara yang memiliki nama asli Steve Liem Tjoan Hok ini dipilih menjadi ikon FFI 2015 lalu. Tema Tribute to Teguh Karya pun dipilih sebagai penghormatan terhadap tokoh yang melalui karya-karyanya telah memberikan kontribusi besar bagi perfilman Indonesia ini.
Menurut Olga Lidya, Ketua Pelaksana FFI 2015, pemilihan Teguh sebagai ikon FFI 2015 akan membuat ajang perfilman tanah air ini menjadi lebih bergengsi. “Meski tak sempat bertemu, saya mengagumi sosok Teguh sebagai sineas yang konsisten menghasilkan karya bagus. Sineas-sineas muda sebaiknya belajar banyak dari karya-karyanya,” ujar Olga, dalam press conference FFI 2015.
Sejak menggarap karya pertama yang berjudul Wajah Seorang Lelaki (1971), Teguh terus konsisten berkarya dengan sepenuh hati. Sebagai sutradara, ia dikenal penuh totalitas, tegas, dan telaten. Tak mengherankan jika semua filmnya memiliki standar kualitas dan nilai artistik tinggi. “Walaupun memiliki dasar teater yang kuat, Teguh tidak terjebak dalam pakem teatrikal saat menyajikan film. Ia berhasil menyentuh sisi komersial tanpa meninggalkan esensi penting dalam pembuatan film,” ujar IGAK Satrya Wibawa, pengajar Kajian Film, Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.
Menurut Satrya, panggung teater justru membuat Teguh menguasai teknik penyutradaraan film dengan baik. Tak mengherankan, film garapannya selalu utuh dan logis dalam menyampaikan pesan tertentu. “Isu yang diangkat Teguh selalu dekat dengan masyarakat Indonesia. Alhasil, karya filmnya selalu disukai masyarakat karena bisa diterima dengan akal sehat,” ungkap Satrya.
Totalitas dan keutuhan itulah yang membuat namanya selalu bersinar di panggung FFI dari tahun ke tahun. Selama 2 dekade berkiprah sebagai sutradara, Teguh telah menghasilkan belasan karya yang membuahkan 54 piala Citra untuk beberapa kategori dalam film Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), hingga Pacar Ketinggalan Kereta (1989).
Teguh tak hanya piawai menyutradarai film, tapi juga mampu mencetak aktris dan aktor besar, seperti Christine Hakim, Roy Marten, Slamet Raharjo, Niniek L. Karim, Alex Komang, Ria Irawan, Rima Melati, hingga Eros Djarot. (f)