“Kita punya pengguna internet yang jumlahnya lebih besar dari jumlah penduduk Singapura. Bayangkan, kalau satu orang menyumbangkan seribu rupiah saja, sudah berapa dana yang terkumpul, dan proyek apa saja yang terwujud,” ungkap penggiat internet, Donny B.U., mengenai potensi kekuatan crowdfunding sebagai agen perubahan melalui berbagai proyek positif dan memberdayakan.
Navicula, grup beraliran musik psychedelic grunge asal Bali menjadi salah satu contoh nyata. Mereka tidak mau sekadar menyanyi di panggung. “Kami ingin mengusung musik rock ke level yang lebih istimewa. ,” ungkap sang vokalis, I Gede Robi Supriyanto (33).
Dengan sokongan dana yang terkumpul dari Patungan.net dan kickstarter.com, Navicula berhasil mengadakan konser Golden Green Grunge for Rare Red Apes: Navicula Borneo, yang berlangsung September 2012 lalu, di Kalimantan. Dalam tur yang bekerja sama dengan organisasi internasional, seperti Greenpeace, SOS, dan Center of Orangutan Protection (COP), Robi dan rekan-rekan satu band-nya bisa bertemu dengan kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam konflik dengan perusahaan tambang atau perkebunan kelapa sawit.
“Kami tidak mau membebani mereka ongkos transportasi dari Bali menuju Kalimantan. Karena itulah, kami sepakat untuk mengumpulkan dana lewat situs crowdfunding Patungan.net dan Kickstarter,” jelas Robi, yang memberikan ucapan terima kasih berupa CD album mereka, merchandise band, seperti T-shirt, atau alat musik yang ditanda tangani para personelnya kepada para donatur.
Dari target yang hanya 3.000 dolar AS, dalam waktu 45 hari misi Navicula di Kickstarter berhasil menggaet donasi sebesar 3.154 dolar AS. Sementara, di Patungan.net, dari target Rp5 juta, dalam 30 hari berhasil terkumpul Rp5.435.000.
Dokumentasi petualangan mereka menyusuri hutan Kalimantan ini akan ditampilkan dalam konser-konser lainnya untuk menggalang dana usaha penyelamatan orang utan. Bisa dikatakan, sebagian besar dari dana tersebut kembali lagi untuk memberdayakan komunitas dan upaya penyelamatan lingkungan.
Hal serupa juga dilakukan ICT Watch saat menggarap film independen Linimassa. Film yang berkisah tentang peran media sosial dalam memperkuat dan memberdayakan masyarakat ini tidak hanya mendapat respons positif dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Salah satu sekolah SMA di Australia Barat memasukkan film ini sebagai bahan kurikulum studi Indonesia As A Second Language yang ada di sekolah itu.
“Selama ini kami bermain sponsor dalam hal mendanai proyek-proyek ICT Watch. Dalam jangka panjang, cara ini tidak sustainable,” ungkap Donny, yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif di ICT Watch. Menurutnya, wajar saja jika di mana pun, proyek yang memakai sponsor akan mendapat banyak ‘titipan’ pesan, baik berupa kemunculan logo, merek, atau tagline.
“Yang lebih tulus sebenarnya adalah masyarakat. Mereka mendukung karena mereka menyukai proyek tersebut. Sementara itu, kalau memakai sponsor, belum tentu program itu mereka sukai,” papar Donny.
Jelas, dalam hal ini pendanaan crowdfunding juga menjadi alternatif jalan untuk menjaga netralitas dari sebuah kegiatan atau proyek, bahkan berjalannya sebuah lembaga. Seperti yang dijalankan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Melalui situs resminya di www.antikorupsi.org mereka menggalang dana partisipasi masyarakat.
“Bukan karena kami kekurangan dana. Sebab, dana utama ICW adalah dari yayasan swasta dan kedutaan di luar negeri. Dana yang terkumpul dari masyarakat akan makin menjaga kemandirian ICW. Karena tidak menerima dana dari pemerintah, ICW bisa ‘menyalak’ dengan keras ketika melihat adanya kecurangan, tanpa tersandera konflik kepentingan,” jelas Illian Deta Arta Sari (32), Koordinator Divisi Kampanye Publik dan Penggalangan Dana ICW.
Jalur rekening bank yang dipakai ICW bertujuan untuk menjaga transparansi. Sebab, ICW hanya menerima donasi dari suporter yang memiliki identitas jelas yang terverifikasi melalui rekening bank. “Laporan donasi kami sampaikan secara ringkas melalui layanan pesan pendek dan e-mail newsletter. Sementara informasi lengkap mengenai pertanggungjawaban donasi akan kami lansir dalam situs ICW dan beranijujur.net,” lanjut Illian.
Meski begitu, dalam perjalanannya, crowdfunding masih perlu banyak berbenah. Terutama dalam hal teknis, seperti masalah transfer dana. “Proses pengiriman uangnya agak ribet. Harus ke ATM. Susahnya lagi, karena situs tidak bekerja sama dengan banyak bank. Sehingga, kalau transfer dari bank berbeda, saya harus tahu kode bank tujuan, dan kena biaya transfer,” keluh Tarlen.
Mandy mengakui bahwa masyarakat Indonesia masih belum percaya melakukan transaksi e-commerce via internet. Data MarkPlus Insight 2011 mengungkap bahwa pengguna online banking hanya 25% dari total pengguna internet. Fakta inilah yang membuat Mandy memilih jalan transfer via ATM. “Tapi, nantinya kami akan mengembangkan Wujudkan.com dengan sistem transaksi full online, yang bisa dilakukan dengan kartu kredit dan e-banking, sehingga memudahkan donatur dan bisa diakses secara internasional,” jelas Mandy.(f)