Jika masyarakat kita kerap mengagung-agungkan diri sebagai ’bangsa Timur yang penuh sopan santun’ dengan segala adat istiadatnya, lalu mengapa kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita malah sering melihat orang tidak memedulikan hukum dan etika?
Masyarakat merasa tidak berdaya dan tidak percaya lagi pada supremasi hukum. Akibatnya, masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap hukum dan masing-masing mencari ’selamat’ dengan membiarkan atau malah ikut melakukan hal yang mungkin melanggar hukum. Secara psikologis, orang juga merasa nyaman ’bersembunyi’ dan merasionalisasi dengan mengatakan, ”Saya tidak mengerti bahwa itu melanggar hukum, toh, orang-orang lain juga melakukan perbuatan itu.”
Sementara Prof. Sulis melihat segala macam persoalan dari yang besar hingga kecil di negeri ini, termasuk sikap masyarakatnya, berakar dari korupsi. ”Korupsi menciptakan masyarakat yang mudah disogok, mudah dibeli dengan kekuatan uang dan kuasa. Ini membuat semua diukur secara materi. Pada akhirnya ini membuat subur korupsi. Jika diibaratkan kain tenun, korupsi seperti debu yang bisa masuk ke sela-sela kain itu, menyusup hingga jauh ke bagian yang paling kecil dan sulit terlihat,” ujar Prof. Sulis dengan nada prihatin.
Saat korupsi telah mengendalikan hukum, tak heran kalau kemudian orang tak lagi respek terhadap hukum. Prof. Sulis memberi contoh, di Belanda, orang takut melakukan pelanggaran hukum karena mereka sadar itu dapat ’memiskinkan’ mereka karena hukuman yang jelas dan berat.
Di sini, hukum seolah kehilangan wibawa saat masyarakat melihat hukum bisa diatur dengan kekuatan uang. ”Masyarakat merasakan kekosongan, penegak hukum malah ikut melanggar, tidak ada panutan. Orang pun enggak kapok dan tidak malu dengan perbuatan yang melanggar hukum,” ujar Prof. Sulis.
Alhasil, ketidakpercayaan terhadap hukum membuat semua terlihat jadi kabur, dan lama-kelamaan mengikis mana yang benar mana yang salah. Pelaku pelanggaran hukum tidak malu pada tindakannya, masyarakat yang melihat pun tidak peduli. Bahaya? Jelas!(Nuri Fajriati)