Foto: Pixabay
Dari sudut pandang psikologi, dinamika hubungan antarsahabat yang kemudian menjadi pasangan hidup, dapat ditelaah melalui Triangular Theory of Love dari Robert Stemberg. Menurut Stemberg, cinta terdiri dari tiga komponen, yaitu keintiman (perasaan dekat dan terikat), gairah atau passion (dorongan romantis, daya tarik fisik, dan dorongan seksual), serta komitmen.
Pada dua orang yang bersahabat, yang umumnya terjadi adalah compassionate love (rasa sayang yang ditandai dengan keintiman dan komitmen, namun tidak disertai gairah). Namun, seiring waktu dan kedewasaan seseorang, bisa saja compassionate love itu berubah menjadi consummate love (bentuk cinta yang sempurna, karena selain adanya keintiman dan komitmen, juga ada gairah dan daya tarik seksual). Namun, ketika keduanya memutuskan menikah, bukan berarti ketiga aspek tersebut dapat terus berkembang bersama-sama. Karena itu, Anda tetap harus melakukan penyesuaian dalam berbagai fase hidup. Meski sudah punya modal berharga sebagai sahabat, Anda tetap harus membuka diri bagi setiap perubahan.
Latar belakang persahabatan yang tulus antara pria dan wanita merupakan modal berharga untuk membina perkawinan:
1/ Sudah Kenal Adatnya
Masa-masa penyesuaian diri di awal perkawinan merupakan periode krusial. Banyak ranjau yang siap meledakkan sebuah perkawinan yang relatif masih rapuh. Serapat apa pun kita menyembunyikan sifat-sifat jelek di hadapan pasangan, setelah hidup bersama dalam perkawinan, semua topeng akan tanggal dengan sendirinya. Karenanya, tak jarang istri maupun suami terkaget-kaget menemukan sifat-sifat dan kebiasaan pasangan mereka yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui. Maklumlah, semasa berpacaran, biasanya kita hanya menampilkan hal-hal yang baik saja dari diri kita.
2/ Tak Perlu Ja’im
Biasanya, kita sudah tahu siapa sebenarnya sahabat kita: latar belakang keluarga (bahkan juga kondisi perkawinan orang tuanya), status sosial, atau kondisi ekonominya. Dan, siapa pun dia, toh, kita tetap nyaman bersahabat dengan dia.
Karena itu, bila menikah dengan sahabat, tak ada kata ja’im alias jaga image dalam kamus Anda berdua. Dengan sendirinya, Anda pun lebih ringan menjalani perkawinan, karena tidak perlu lagi menyembunyikan sesuatu atau harus bersandiwara agar terlihat hebat di mata pasangan dan keluarganya.
3/ Mertua bukan masalah
Kalau orang tua Anda tak keberatan Anda bersahabat dengan seseorang, tentunya orang itu memang cocok di hati mereka. Bahkan, tak jarang sahabat Anda sudah dianggap anak oleh orang tua Anda. Sebaliknya, Anda biasanya juga sudah cukup kenal tabiat orang tua sahabat Anda, termasuk nilai-nilai yang mereka anut. (f)
Konsultan: Ira Puspitawati, Psikolog
Tina Savitri
Topic
#Pernikahan