Menurut Adriana, yang berbahaya adalah jika anak melakukan protes terselubung, karena anak tak mampu mengungkapkan perasaannya. Perilaku itu bisa berupa perubahan emosi pada anak. Anak jadi pemurung, sering bersedih, atau sering ngompol. Bisa juga berakibat pada prestasinya di sekolah. “Jika dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini akan membuat anak depresi,” kata Adriana.
Adriana menegaskan, hal terpenting saat anak belum bisa menerima kehadiran calon suami Anda adalah tidak memberikan penjelasan yang sifatnya bohong, hanya agar anak mau mengerti. Apa pun bentuk kebohongan itu, jika kelak diketahui anak, perasaannya akan terluka.
Pendekatan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan pun berbeda. Adriana memberi saran, untuk anak perempuan, sebaiknya calon suami menerapkan ‘jurus’ mengobrol, sampai dia merasa dekat. Hadiah-hadiah kecil, misalnya buku cerita atau boneka yang sudah lama diinginkan, bisa menjadi alat pendekatan yang mujarab.
Jika usaha-usaha calon suami belum berhasil, Anda bisa meminta bantuan orang-orang yang dekat dan dipercaya anak. ”Lewat mereka, anak akan mengerti tentang pentingnya kehadiran calon ayah baru, tanpa merasa dipaksa. Anda juga bisa tahu tentang keberatan anak terhadap calon suami,” kata Adriana.
Ibu dan anak sama-sama membutuhkan waktu cukup lama untuk mengatasi trauma pascaperceraian yang mungkin terjadi. Menurut Adriana, masa transisi idealnya dua tahun. Ibu perlu waktu itu untuk mengevaluasi pengalaman perceraiannya. (f)